Minggu, 27 Juli 2008

Infrastruktur, Good Governance, dan CGI

".Infrastruktur, "Good Governance", dan CGI
Chatib Basri
INDONESIA hari ini adalah negeri dengan malam yang amat panjang. Ia memang punya pelbagai kepedihan. Toh, kita masih bisa menghibur diri karena konon hanya mereka yang pernah nyungsep tahu mana yang maya dan mana yang nyata.
Sedihnya, hari ini optimisme tak punya banyak teman.Perjalanan memang mengajarkan satu hal yang paling berharga: kesalahan. Pemulihan ekonomi-oleh banyak pihak-dirasa amat lambat. Seperti tak bergerak. Lalu seperti sebuah ritual, kinerja ekonomi negeri ini dievaluasi pada sidang Consultative Group on Indonesia (CGI)-yang tahun ini akan digelar minggu ini.
Bank Dunia yang mengetuai CGI mengajukan tiga skema, skenario dasar, skenario rendah, dan skenario tinggi. Besarnya bantuan akan berkisar dari 300 juta dollar AS (skenario dasar) sampai 1,4 miliar dollar AS (skenario tinggi). Besarnya bantuan ini akan tergantung dari kinerja dalam pelaksanaan program ekonomi dan juga pengurangan korupsi atau peningkatan tata pengaturan (good governance).
Bagaimana kita membaca kinerja ekonomi kita? Saya kira mereka yang paling sinis sekalipun harus mengakui fakta adanya perbaikan kinerja stabilitas makro-ekonomi. Nilai tukar yang stabil telah mendorong inflasi dan juga bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ke tingkat yang lebih rendah. Sampai dengan bulan November 2003, inflasi mencapai 4,08 persen dan diperkirakan akan sekitar lima persen, atau lebih rendah untuk sepanjang tahun 2003. Kondisi makro yang membaik ini mendorong penurunan persentase penduduk miskin dari 27 persen tahun 1999 menjadi 16 persen di tahun 2002.
Di sisi lain, walau orang mengeluh soal ekspor yang rendah atau bahaya barang impor dari Cina, data justru menunjukkan, ekspor tahun ini relatif lebih baik dibandingkan dengan ekspor tahun lalu. Masuknya Cina ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) justru memberikan pasar bagi banyak negara, termasuk Indonesia.
Ekspor nonmigas Indonesia ke Cina sepanjang Januari-Oktober 2003 meningkat amat tajam 17 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ke Amerika Serikat, Jepang, atau dunia (hanya 3,4 persen). Neraca perdagangan ke Cina tetap positif karena pertumbuhan ekspor nonmigas yang lebih tinggi daripada impornya (13 persen).Peningkatan ekspor yang tajam juga terjadi ke Malaysia, yang tumbuh sebesar 16,8 persen untuk periode yang sama. Beberapa gambaran bagus ini, sayangnya, tak cukup meyakinkan kita bahwa ekonomi telah pulih. Lihat beberapa soal besar mungkin jadi bahasan sidang CGI kali ini.
Pertama, kinerja industri manufaktur. Walau terlihat gejala perbaikan dalam beberapa indikator di atas, kinerja industri pengolahan secara keseluruhan tetap lemah. Sampai triwulan ketiga 2003, industri pengolahan hanya tumbuh 2,33 persen, lebih rendah dibandingkan dengan keseluruhan pertumbuhan tahun 2002 sebesar 4 persen.
Gejala yang mengkhawatirkan ini didukung hasil survei awal Badan Pusat Statistik yang menunjukkan persentase perusahaan yang tutup atau menurunkan skalanya, mengalami peningkatan selama tahun 1999-2002, terutama untuk industri tekstil, pakaian, dan alas kaki. Hal yang sama juga terlihat pada penyerapan tenaga kerja di sektor tersebut.Perhitungan data Statistik Industri menunjukkan, pendorong ekspor adalah perusahaan penanaman modal asing (PMA), yang terutama berkonsentrasi di sektor tekstil, pakaian jadi, sepatu, dan makanan olahan. Implikasinya: apabila investasi asing tak pulih, sulit diharapkan ekspor melesat dan kembali pulih dalam jangka pendek. Lalu kita mengulang cerita lama: investasi tak akan datang apabila iklim investasi tak kunjung membaik-kalau kita tidak mau mengatakannya semakin memburuk.
Kedua, masalah good governance. Studi yang dilakukan Kaufman, Kraay, dan Mastruzzi (2003) menunjukkan, dalam hal efektivitas pemerintahan, penegakan hukum, dan penanggulangan korupsi, kinerja Indonesia di bawah Vietnam, Filipina, dan Cina. Bank Dunia juga menunjukkan, governance yang buruk mengakibatkan rendahnya investasi dan buruknya pelayanan publik, yang akhirnya bermuara pada terganggunya proses pemberantasan kemiskinan.
Saya kira Bank Dunia tak berlebihan: investasi dan pelayanan publik yang baik membutuhkan institusi yang juga baik, sedangkan institusi yang buruk akan mendorong korupsi. Sebaliknya, korupsi yang ada akan semakin melemahkan institusi dan begitu seterusnya. Itu sebabnya, korupsi akan memiliki percepatan seperti yang terjadi sekarang ini. Mungkin itu yang disebut endogenous corruption.
Buruknya investasi dan kualitas pelayanan publik pada akhirnya akan membebani kelompok miskin. Dalam hal governance memang tak banyak kemajuan. Kita malah mencatat: buruknya governance dalam kasus perbankan.
Bobolnya Bank BNI dan Bank BRI merupakan sebuah indikator yang amat terang benderang tentang gagalnya restrukturisasi perbankan di bank-bank "pelat merah". Kronologi kasus bobolnya Bank BNI mungkin lebih mirip sebuah "perampokan" ketimbang pemalsuan (fraud). Begitu transparannya proses pembobolan yang terjadi. Padahal, kita tahu, salah satu penyebab utama krisis ekonomi tahun 1997 adalah lemahnya sistem perbankan.
Jika tak ada perbaikan dalam pengawasan, bukan tak mungkin perbaikan makro-ekonomi yang telah terjadi selama ini akan mengalami gangguan secara serius. Sayangnya, perbaikan dalam governance dan reformasi hukum adalah kerja jangka yang amat panjang.Selama koruptor menganggap manfaat (benefit) yang diperolehnya lebih besar daripada risiko (cost) yang harus ditanggungnya, selama itu pula ada insentif untuk melakukan praktik korupsi. Itulah yang terjadi di negeri ini. Seorang kawan yang sinis mengatakan, risiko terbesar apabila menjadi koruptor di negeri ini hanyalah digosipin.
Ketiga, memburuknya kualitas infrastruktur di Indonesia sejak krisis ekonomi tahun 1998. "2002-2003 Global Competitiveness Report" merujuk bahwa kualitas infrastruktur Indonesia secara keseluruhan berada di urutan ke-64 dari 80 negara. Survei lain oleh Bank Dunia untuk 12 negara di Asia dan Australia menunjukkan, dalam hal penyediaan air bersih, Indonesia berada di urutan ketujuh, dengan hanya 16 persen dari populasi yang memiliki akses air bersih.
Rasio elektrifikasi Indonesia hanya 53,4 persen. Dengan persentase sebesar itu, Indonesia berada di urutan ke-11 dari 12 negara di Asia. Lemahnya infrastruktur listrik jelas berimplikasi besar. Hasil simulasi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI) (2003) menunjukkan, tanpa perbaikan apa- apa dalam peningkatan daya terpasang listrik, rata-rata pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya mencapai 4,4 persen sampai tahun 2005. Apabila pemerintah meningkatkan pertumbuhan daya terpasang listrik, 15 persen misalnya, pertumbuhan ekspor akan dapat meningkat dari rata-rata 7 persen menjadi 8,8 persen, dan pertumbuhan ekonomi akan dapat mencapai rata-rata 4,6 persen. Jika peningkatan daya terpasang listrik dinaikkan sampai 30 persen, rata-rata pertumbuhan ekonomi dapat didorong sampai sekitar 4,8 persen pada tahun 2003-2005.
Dari angka ini, kontribusi dari daya terpasang listrik terlihat seolah relatif kecil. Perlu diingat bahwa simulasi di atas mengasumsikan bahwa seluruh variabel ekonomi lain tidak mengalami perubahan. Dengan demikian, apabila perbaikan infrastruktur listrik ini dibarengi pula berbagai kebijakan lain, seperti peningkatan efisiensi dengan penghapusan pungutan atau penurunan pajak yang dianggap membebankan, bukan tidak mungkin pertumbuhan ekonomi akan lebih tinggi lagi. Penyediaan kapasitas listrik juga berakibat signifikan terhadap kesejahteraan penduduk miskin karena harga yang mereka bayar untuk energi menjadi lebih murah.
Studi LPEM-FEUI menunjukkan, penduduk miskin yang tak memiliki akses listrik harus membayar enam kali lebih tinggi untuk pengeluaran energinya daripada mereka yang memiliki akses listrik. Itu sebabnya perbaikan dalam akses terhadap listrik menjadi satu keharusan untuk penurunan kemiskinan. Kata lainnya, peningkatan pasokan listrik membantu menurunkan kemiskinan.LPEM-FEUI melihat bahwa target pertumbuhan ekonomi sebesar 6-7 persen pada tahun 2006 tampaknya sulit tercapai tanpa peningkatan signifikan perbaikan infrastruktur. Sayangnya, seperti yang dikatakan Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, dibutuhkan waktu 10 tahun untuk mengejar ketertinggalan ini.
Wajar jika masalah infrastruktur (Kompas, 3/12) menjadi isu penting dalam sidang CGI kali ini. Persoalannya, anggaran merupakan kendala yang dihadapi pemerintah dalam memperbaiki infrastruktur ini. Kita bisa melihat, dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, persentase pengeluaran pembangunan hanya berkisar 70 persen dari total pengeluaran pemerintah. Padahal anggaran pembangunan adalah kunci investasi pemerintah, termasuk untuk infrastruktur. Dalam hal ini memang bantuan pembiayaan dari luar amat diharapkan. Ironisnya, kemampuan menggunakan bantuan asing pun-walaupun sudah mulai membaik-masih relatif rendah. Swasta? Belum dapat diharapkan perannya.Indonesia mungkin sebuah negeri dengan keluh kesah sejarah.
Infrastruktur yang lemah, tata pengaturan nyaris tak mengalami kemajuan, memang seperti sebuah kenyataan yang mematahkan semangat. Toh, itu tak berarti membuat kita harus berhenti karena di beberapa tempat-walau amat terbatas-perbaikan dan optimisme juga mulai tampak. (Sumber Internet)

Tidak ada komentar: