Senin, 28 Juli 2008

PANDANGAN YURIDIS CONFLICT OF LAW DAN CHOICE OF LAW DALAM KONTRAK BISNIS INTERNASIONAL

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 1 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
PANDANGAN YURIDIS CONFLICT OF LAW DAN CHOICE OF LAW DALAM KONTRAK BISNIS INTERNASIONAL
Oleh: Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, SH1
A. Umum
1. Pengantar
Conflict of law menjadi salah satu topik dalam diskusi berkepanjangan yang dibahas dalam Working Group VI UNCITRAL bulan September 2005. Tujuan pembahasan adalah untuk membentuk model law bisnis internasional, antara lain sengketa hukum dalam pelaksanaannya, terutama yang berhubungan dengan kebebasan para pihak menentukan hukum dalam penyelesaian sengketa mereka (choice of law) dan pembatasannya, yang semakin berkembang dalam pelaksanaannya, berakibat dibutuhkannya pengaturan yang lebih luas.
Keadaan nyata dapat dilihat pada perlindungan terhadap risiko yang timbul dalam perjanjian terkait dengan aktivitas bank dalam pelaksanaan fungsinya sebagai lembaga untuk menyediakan dan membiayai, seperti perkreditan, treasury, investasi, dan pembiayaan perdagangan.2
1 Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Departemen Hukum dan HAM RI.
2 Dalam menjalankan usahanya, bank menghadapi berbagai risiko, antara lain penerbitan surat berharga yang dipersengketakan, tunduk pada ketentuan dalam UU No. 7 Tahun 1992 Tentang
Hukum sebagai penunjang utama dalam pelaksanaannya agar berjalan
secara tertib berdasarkan hokum nasional para pihak yang membatasi
pilihan hukum, misalnya UU Kepailitan,3 UU Lingkungan Hidup, UU Perbankan (termasuk kantor cabang bank asing mengikuti ketentuan ini vide Peraturan Bank Indonesia No. 7/4/PBI/2005 tentang
Prinsip Kehati-hatian).
Dalam Sekuritisasi Aset Bank Umum, HAKI,4 PP tentang Waralaba, dan sebagainya, memperhatikan model law perdagangan internasional yang disepakati dalam UNCITRAL.
Tujuannya adalah menciptakan efisiensi, konsistensi, dan koherensi dalam unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional.
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, dan dapat pula karena risiko
kredit, yaitu risiko yang timbul akibat kegagalan counter part memenuhi kewajibannya.
3 Kasus insolvensi di Indonesia berlaku UU Kepailitan, berdasarkan Pasal 2 UU No. 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang. Untuk proses likuidasi bank,
berlaku ketentuan Bab VI mengenai Likuidasi UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan.
4 Lihat UU No. 15/ 2001 tentang Merk, dan UU No. 14/ 2001 tentang Paten yang menentukan bahwa apabila terjadi conflict of law, maka hukum yang berlaku adalah hukum dari negara yang memberikan hak khusus atas HAKI tersebut.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 2 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
Konvensi internasional sebagai model law yang berlaku, pelaksanaan kontrak, antara lain di bidang barang, seperti The Hague Convention on the Law Applicable to Contracts of International Sale of Goods (1986).5 Konvensi dibidang
transaksi elektronik, pelaksanaan fungsi pengawasan pelaksanaan Konvensi New York 1958 tentang recognation and enforcement of Foreign Arbital Awards, dan sebagainya.
Dalam kenyataannya ketentuan hukum harmonisasi yang merupakan model law saat ini sudah tidak memadai dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan bisnis internasional, terutama yang menyangkut pelaksanaan penyertaan modal, transaksi elektronik, pemberian kredit/ hak dan kewajiban para pihak dikaitkan
dengan perjanjian baku, dalam pelaksanaan fungsi bank sebagai penyedia dan penerima dana.
Lembaga internasional/ Majelis Umum PBB, khususnya Komite VI (Hukum), melalui UNCITRAL, dalam mengantisipasi perkembangan yang terjadi telah melakukan usaha mengumpulkan pendapat dan kesepakatan negara anggota untuk membuat suatu konvensi yang menjadi model atau rujukan dalam pembangunan rezim hukum
5 Konvensi ini menentukan bahwa hukum yang berlaku dalam suatu kontrak penjualan yang tidak dipilih oleh para pihak adalah hukum tempat kedudukan bisnis penjual saat kontrak dibuat. Pasal 13 menentukan bahwa apabila tidak ada
pilihan hukum yang tegas maka berlaku hokum negara pemeriksaan barang dilakukan.
perdagangan internasional dalam bentuk model law yang sesuai kebutuhan saat ini, misalnya dalam kaitan dengan conflict of law yang berhubungan erat dengan choice of law (pilihan hukum), yaitu hak para pihak untuk memilih hukum yang
berlaku apabila terjadi conflict of law.
B. Permasalahan
1. Apa, dan bagaimana pelaksanaan lembaga choice of law, dalam pelaksanaan
kontrak bisnis internasional apabila terjadi conflict of law?
2. Apa permasalahan dan solusi penerapan choice of law dalam pelaksanaan kontrak bisnis internasional apabila terjadi conflict of law?
C. Pembahasan
1. Perkembangan Choice of Law dalam Kontrak Bisinis Internasional
Hak dan kewajiban para pihak yang menjadi dasar penyelesaian sengketa
mereka dalam conflict of law diistilahkan sebagai choice of law, dan ada pula yang mempergunakan party autonomy. Istilah choice of law lebih pasti pengertiannya dari pada party autonomy, sebagaimana
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 3 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005 dikemukakan oleh Sudargo Gautama.6 Istilah party autonomy sering dipahami secara keliru (misleidend) dalam Hukum Bisnis Internasional, sehingga menimbulkan pemikiran ke arah yang sebenarnya tidak dicakup oleh istilah tersebut. Istilah autonomy (otonom) mengandung pengertian menentukan sendiri
hukum yang harus berlaku bagi mereka. Secara hukum para pihak
tidak mempunyai kemampuan untuk membuat sendiri undang-undang bagi mereka. Tidak ada kewenangan untuk menciptakan hukum bagi para pihak yang berkontrak. Mereka hanya diberikan kebebasan untuk memilih hukum mana yang mereka kehendaki untuk diterapkan bagi kontrak yang mereka buat, dan tidak diberikan kewenangan untuk secara otonom menentukan sendiri hukum yang harus berlaku bagi mereka. Kolleewijn mengemukakan
dalam kaitan ini: “Het is slechts kiesvrijheid...Niet het recht tot selfregeling”. 7 (Itu hanyalah kebebasan
6 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional, Jilid II Bagian 4, Buku ke 5, Penerbit Alumni, Bandung, 1992, hal. 3. Menurut Szaszy Schnitzer, dalam Private International Law in
European People’s Democraties, Leiden Universiteit, Leiden, 1964, P. 211, bahwa party autonomy (Inggris) dalam bahasa Belanda partij autonomie, parteiautonomie/ Jerman atau party
autonomy/ intention of the parties/ Inggris, lebih menekankan hak para pihak tanpa batas. Schnitzer, dalam Handelingen Nederlandse Juristenvereniging, Marthijn Nijhof, Nederland, P. 106, mengatakan bahwa istilah lain dari party
autonomy adalah rechtskeuze, atau choice of law,
yang menurut Schnitzer istilah choice of law lebih sesuai karena menggambarkan apa yang diartikan
dengan istilah hukum yang bersangkutan dalam hukum perdata internasional.
7 Kollewijn, R.D, Rechtskeuse, Een Nederlandsch- Indische Rechtspiegelvoorgehouden aan het
untuk memilih....bukanlah hak untuk mengatur sendiri–Terjemahan
Redaksi). Perkembangan masalah otonomi para pihak ke arah kebebasan
memilih hukum yang menjadi dasar hubungan perjanjian para pihak sudah dipraktekkan sejak dahulu. Otonomi para pihak secara konkrit baru dikenal kemudian. Dumolin seorang ahli hukum Italia abad pertengahan mengemukakannya berkenaan dengan masalah syaratsyarat perkawinan (huwelijksvoorwaarden) berkaitan dengan ide kebebasan para pihak.8
Di Perancis dan Nederland ajaran Dumolin ini telah tersebar. Kebebasan para pihak untuk memilih hukum ini ternyata tidak dibatasi untuk soal-soal perkawinan, tetapi juga dibidang hokum perjanjian diakui pilihan hukum oleh
para pihak, baik secara tegas maupun diam-diam, sebagai factor yang menentukan. Namun demikian belum tegas bagi para penulis saat itu tentang kebebasan untuk memilih hukum apakah juga berlaku
International Privaatrecht. Paul Scholten, Verzamelde Opstellen over Intergentiele Privaatrecht Rechtsgeleerde Opstellen Aangeboden aan, Bandung, 1955, hlm. 4. 8 De winter, L.J. op. cit, hal 23. Menurutnya persoalan epoux meries sans contrat telah menjadi famossismo question dan Dumuolin sebagai ahli hukum Perancis saat itu yang pertama-tama telah memberikan perumusan tegas daripada ide kebebasan para pihak. Karenanya ia disebut sebagai fondateur de la doctrine.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 4 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
sebagai ketentuan yang bersifat mengikat (dwingend).9 Choice of law (pilihan hukum) dalam hukum perjanjian adalah kebebasan yang diberikan kepada para pihak untuk memilih sendiri hukum yang hendak dipergunakan untuk perjanjian mereka.10 Tujuan penerapan pilihan hukum adalah perlakuan sama untuk kasus serupa, dan pengembangan kepentingan, tujuan dan kebijakan masyarakat.
Ada beberapa alasan memberlakukan pilihan hukum, yaitu memberlakukan klausula pilihan hukum yang terdapat dalam kontrak (pengakuan) terhadap party
autonomy,11 mengesampingkan pilihan hukum, dan memberlakukan klausula pilihan hukum sebagai penunjang, dan bukan factor penentu.12
9 Abad ke 19 ajaran kebebasan memilih oleh para pihak ini semakin berkembang, dipergunakan oleh para hakim, antara lain Von Savigny. Menurutnya bahwa hubungan hokum ditampilkan dalam bentuk penundukan sukarela pada sesuatu stelsel hukum yang terjadi karena dipilih (lex loci executions). Pilihan sedemikian ini terutama terjadi secara diam-diam. Teori otonomi para pihak dikembangkan oleh Mancini, bahwa otonomi para pihak merupakan salah satu dari
hak asasi keseluruhan bangunan hukum perdata internasional disamping prinsip nasionalitas dan
kepentingan umum. Mancini menjadikan kebebasan para individu untuk menentukan hukum bagi hubungan kontrak mereka, namun kebebasan tersebut dibatasi oleh faham ketertiban umum.
10 Sudargo Gautama, op. cit, hal 5, lihat pula Subekti, Hukum Perjanjian, Alumni Bandung,
1987, hal. 11. 11 Apabila hukum yang dipilih berhubungan erat dengan kontrak, dan tidak melanggar kebijakan fundamental dari negara lain yang lebih besar kepentingannya terhadap keputusan pokok. 12 Dari berbagai putusan pengadilan di berbagai negara, dapat dilihat tidak ada perbedaan prinsipil antara sistem hukum yang ada di dunia,
Manfaat pilihan hukum adalah memuaskan para pihak karena
menggunakan hak dasarnya, bersifat kepastian karena memungkinkan para pihak dengan mudah menentukan hukumnya, memberikan efisiensi dan manfaat.
Dasar pertimbangan berlakunya pilihan hukum atas pemikiran bahwa semua negara tidak memiliki system hukum nasional yang sama. Apabila tidak ditentukan pilihan hukum, maka diterapkan hukum privat nasional.
Pembahasan tentang party autonomy ditampilkan dalam satu bahasan perkembangan praktek bisnis internasional berkaitan dengan kontrak. Dikemukakan dalam Pokja UNCITRAL, bahwa party autonomy harus diakui dalam perjanjian baku perbankan, misalnya perjanjian kredit antara bank sebagai
kreditur dan debitur sebagai penerima kredit. Klausula dalam perjanjian baku tersebut harus bersifat perintah (mandatory) dalam rangka melindungi debitur sebagai pihak yang melunasi kredit agar dapat membayar hutangnya sesuai
kesanggupannya, bila terjadi conflict of law.
Aspek-aspek lain yang dibahas apabila terjadi conflict of law, antara lain tentang negotiable instrument dan negotiable document, disamping conflict of law. Apakah
seperti common law, social law, dan anglo saxon. Pengaturan pilihan hukum secara umum adalah kebutuhan akan perlindungan dan kepastian para pihak dalam melakukan hubungan dagang yang melewati batas wilayah.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 5 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
dalam menyelesaikan sengketa para pihak hukum negara pihak penanggung (guarantor) dapat sebagai tempat penyelesaiannya.
Selanjutnya disinggung pula substansi pengaturan berkaitan dengan benda bergerak yang harus didaftarkan, dan intellectual property yang sudah disetujui dalam sidang sebelumnya sebagai security right intangible property, yang akan
dilanjutkan di New York. Pembahasan yang dilakukan oleh Pokja Hukum UNCITRAL tersebut merupakan pembahasan yang selama ini telah dilakukan, dan sebagian sudah mencapai kesepakatan, antara lain ECommerce, the Use of Electronic Communications in International Contracts, yang dibahas oleh Pokja
IV sebagai respon terhadap kebutuhan hukum berkaitan dengan secured transaction, yang secara efisien diharapkan mampu menghilangkan hambatan hokum dan memberikan dampak positif terhadap kesediaan biaya bagi
kredit.13
Pelaksanaan Sidang Working Group UNCITRAL yang diselenggarakan
tanggal 5-9 September 2005, membahas masalah security interest, sesi ke 8 untuk draft rancangan ketentuan hukum secured
13 Sebagian besar masih dalam proses pembahasan. Substansi yang dibahas adalah mengenai procurement (Pokja I), arbitration (pokja II), transport law (Pokja III), insolvency law (Pokja V), dan security interest (Pokja VI). Security interest oleh Pokja VI merupakan lanjutan pembahasan pada sesi 7, diselenggarakan di New York pada tanggak 24-28 Januari 2005.
transaction, dengan fokus secured credit law.
Pertimbangan pembahasan isu mengenai secured credit law ini adalah merupakan respon terhadap kendala-kendala hukum yang timbul dalam pelaksanaan penyediaan dan pembiayaan bank. Beberapa hasil keputusan dalam pembahasan Working Group VI tersebut adalah chapter IX tentang insolvency, chapter X tentang acquisition financing, dan chapter XI tentang
conflict of law.
Diskusi terkait dengan conflict of law antara lain menyinggung tentang bank account (rekening bank), dan security account (surat berharga).
Kedua instrumen ini sulit dibedakan dalam pelaksanaan fungsi bank sebagai pihak ketiga dalam melayani nasabah. Security account berfungsi sebagai pemenuhan kewajiban yang diatur terakhir dalam Hague Convention lebih kompleks dari bank account. Kesepakatan pemanfaatan surat berharga sebagai
pemenuhan kewajiban mengikuti perjanjian pokok, dan harus dibayar saat jatuh tempo oleh penerbit.
2. Choice of Law dan Ketertiban
Umum
Ketertiban umum dan choice of law merupakan dua asas hukum sangat penting dalam conflict of law. Para ahli beranggapan bahwa ketertiban umum berfungsi sebagai lembaga yang membatasi kebebasan para
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 6 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
pihak dalam menentukan choice of law yaitu memilih hukum yang berlaku bagi mereka apabila terjadi sengketa.
Hijman mengatakan dalam bidang perdata internasional masih didiskusikan tentang seberapa jauhkah arti dari hak para pihak dalam menentukan hukum bagi mereka. Apakah keinginan para pihak memiliki peranan dalam menentukan hukum yang harus diperlakukan. Berkaitan dengan partij-autonomie dikatakan bahwa “Met dit vragstuk raak ik een hoofdproblemen, van het geheele privaatrecht: de betekenis van den menselijken wil voor het recht”.
(Dengan pertanyaan ini sampailah saya pada masalah yang utama dari keseluruhan hukum perdata: arti dari keinginan manusia terhadap hukum–Terjemahan Redaksi) Choice of law sangat penting dihubungkan dengan ketertiban umum, yang bila dilihat dari sudut pandang falsafah peranan kemauan
individu terhadap hukum yang berlaku (wildogma) dan ajaran Romawi. Persoalan pilihan hokum dalam bidang bisnis internasional menampilkan unsur-unsur falsafah hukum, mengandung pula segi-segi teori hukum, praktek hukum dan politik hukum, yang oleh Kosters disebut sebagai de hoek steen van het rechtstelsel (batu penjuru dari suatu sistem hukum-Terjemahan Redaksi).
Pendekatan semacam ini dapat mempengaruhi pandangan ke arah falsafah tentang sejauh manakah peranan kemauan individu terhadap hukum yang berlaku, atau dalam hukum romawi mengenai animus, voluntas, consentire, yang
substansinya tidak diuraikan lebih jauh dalam tulisan ini. Persoalannya adalah dalam menentukan haknya bila terjadi conflict of law. Para ahli dibidang bisnis
internasional mengakui bahwa secara empiris prinsip pilihan hokum dibidang kontrak dipergunakan di dunia tanpa mempersoalkan pandangan secara dogmatis yang dikemukakan para ahli. Pelaksanaannya lebih didasarkan
pada pertimbangan dari segi prinsipprinsip ekonomi, dan hukum, berkaitan dengan batas-batas kewenangan choice of law. Batas kewenangan choice of law dapat dilakukan secara tidak terbatas, atau dibatasi hanya dalam hal-hal tertentu, yaitu tentang hokum manakah yang berlaku bagi kontrak yang disepakati para pihak, dan sejauh manakah para pihak dapat menentukan sendiri hukum yang dipergunakan bagi hubungan hukum mereka, dan apabila para pihak tidak menggunakan haknya untuk memilih hukum yang berlaku bagi mereka maka hukum manakah yang menjadi dasar pelaksanaan kontrak mereka.
Ketentuan apakah yang pantas diterapkan apabila para pihak tidak mempergunakan haknya dalam
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 7 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
menentukan pilihan hukum, dan apabila menggunakannya hak tersebut ditinjau dari sifat kebebasan untuk menentukan sendiri hokum yang berlaku bagi para pihak yang berkontrak sesuai dengan logika atau bertentangan dengan sifat
memaksa (dwingend) dari ketentuan peraturan perundang-undangan. Juga merupakan persoalan apakah para pihak bebas dalam pilihan mereka atau sangat terbatas dalam kemampuan mereka ini. Apakah para pihak dapat menentukan kaidah-kaidah tertentu tunduk atau berlaku hanya terhadap bagianbagian tertentu dalam kontrak, sehingga dalam satu kontrak terdapat beberapa kaidah yang menjadi dasar penundukan/ sebagian tunduk kepada hokum tertentu, sedangkan bagian lainnya dari kontrak tunduk kepada hukum
lain perlu diamati secara tersendiri.
Berkaitan dengan substansi ini, Rabel yang mendukung prinsip kebebasan memilih hokum mengatakan bahwa para pihak berhak menentukan hukum yang
berlaku dalam kontrak mereka.14 Secara empiris dapat dilihat pada hasil penelitian terhadap keputusan Mahkamah Agung Internasional, dan badan-badan arbitrase
14 Rabel, dalam Sudargo Gautama, op.cit, hal 122, mengatakan bahwa “despite some the parties to a contract have a right to determine the law applicable to their contractual relationship only the limits may be controversial. Hence the recent literature interest it self more in the limits to
imposed upon the autonomy of the parties intention than in challenging its existence”.
internasional tentang adanya pengakuan terhadap hak pilihan hukum bagi para pihak (the principle of the importance of the intention of the parties has been adopted by most courts and publicits). Sudargo Gautama mengemukakan pendapat Winter dalam suatu karangan khusus mengenai peranan yang memaksa pada perjanjian-perjanjian internasional tentang penerimaan pilihan hukum oleh para pihak berkenaan dengan dilakukannya kontrak-kontrak internasional.15
Ketertiban umum memiliki beberapa fungsi dihubungkan dengan choice of law, pertama; sebagai rem atau penghambat, yaitu membatasi diberlakukannya hukum asing dalam hal-hal tertentu. Kedua; untuk menghalangi kebebasan hak
otonomi para pihak dalam menentukan berlakunya hokum dalam kontrak mereka. Ketiga; sebagai elemen yang membatasi berlakunya stelsel hukum asing yang tidak sesuai dengan stelsel hokum dari hakim yang mengadili sengketa para pihak; dan keempat; sebagai perlindungan terhadap pemakaian
otonomi hak para pihak dalamn choice of law yang terlampau luas.
Fungsi ketertiban umum tersebut secara empiris terdapat di Cina. Ketentuan hukum Cina melarang
15 De Winter, LJ, Dwingen Recht bij Internasionale Overeenkomsten, University of Leiden, Marthijn Nijhof, Nederland, 1964, hal 329-331. “Deze opvatting, die aanvankelijk op bezwaren van dogmatische aard stuitte, wordt thans in vrijwealle landen zowel in de rechtspraak als de
wetenschap aanvaard”
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 8 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
pelaksanaan choice of law dalam kontrak bisnis yang terkait dengan teknologi. Ketentuan hukum yang dipergunakan adalah hukum Cina.
Ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan dan Ekonomi
Cina itu mengenai kebijakan importeknologi di RRC.16 Oleh karena itu menurut Niboyet, salah satu ahli yang menentang otonomi para pihak, mengatakan bahwa apabila istilah otonomi dipergunakan perlu membatasi pengertiannya, misalnya dalam bentuk definisi untuk menghindari pelaksanaan yang luas.17
Caleb menyebut ketertiban umum atau openbare orde (Belanda), dan ordre public (Perancis), sebagai pembatasan utama kebebasan untuk melaksanakan kemauan seseorang dalam bidang kontrak untuk menghindari terjadinya penyelundupan hukum.
Penyelundupan hukum itu dapat dilakukan melalui perubahan titik taut yang menentukan dalam proses hukum yang dipakai sebagai dasar dalam penyelesaian suatu peristiwa
16 Douglas C. Markel dan Randy Peerenboom. The Technology Transfer Tango, The China Business, January-February 1997, P. 25. 17 Niboyet, dalam Subekti, op.cit. hal. 12 Volker Triebel dalam The Choice of Law in Commercial Relations, A German Prespective, International and Comparative Law Quarterly, Vol. 37, October 1988, P. 939, mengemukakan bahwa di negaranegara lain antara lain Jerman membentuk undang-undang yang membatasi party autonomy, yaitu the act on the regulation of standardized contract. Pilihan hukum para pihaktidak boleh mengabaikan peraturan perundang-undangan yang berlaku, apabila kontrak bersifat publik, misalnya public offer, public advertising di Jerman. hukum. Peranan subyektif dengan jalan memindahkan atau mengubah titik-titik taut penentu ke arah stelsel
hukum lain yang dikendaki dapat berakibat terjadinya penyelundupan hukum ini.
Penyelundupan hukum adalah penggeseran titik-titik pertalian obyektif yang menentukan titik pertalian sekunder. Para pihak melakukan perubahan domicilie, atau menutup kontrak di luar negeri, atau memilih tempat pelaksanaan (lex loci executionis) di luar negeri.
Secara hukum, pilihan hukum dapat dilakukan dengan titik pertalian yang bersifat obyektif, seperti misalnya kewarganegaraan (lex patriea), domisili (lex domicilie),
tempat letaknya benda (lex rei sitae), tempat kontrak dilaksanakan (lex loci contractus), dan sebagainya.
Untuk menghindari terjadinya penyelundupan hukum, melalui sikap pihak bersangkutan secara sewenang-wenang memilih hokum yang dibalut kepentingan menguntungkan dirinya sendiri, dan bukan hukum yang berlaku di
negara salah satu pihak yang melakukan kontrak, maka diterapkan persyaratan secara tegas.18
18 Yurispudensi negara-negara dengan system hukum Anglo Saxon sangat tegas menerapkan
persayaratan ini. Misalnya dalam hukum Inggris, sebagai jawaban atas pertanyaan yang telah diajukan oleh pemerintah Belanda berhubung dengan Konfrensi ke-6 di Den Haag mengenai jual
beli internasional telah dikemukakan antara lain: “The view adopted in English Law is that a
contract ought to be governed and is governed by the law or laws to which the parties intended to
summit themselves. When the parties expressly
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 9 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
Jika dilakukan perbuatan bersangkutan di tempat tertentu, maka pilihan tempat ini tidak dengan sengaja dipilih dengan maksud untuk melakukan penyelundupan. Rabel mengemukakan “the place should not be intentionaly selected for the purpose of evasion”, dalam berbagai sistem hukum tertentu disyaratkan bahwa pemilihan hanya dapat dilakukan mengenai hukum yang
benar-benar mempunyai hubungan nyata dengan peristiwa hukum yang bersangkutan.
Pemilihan hanya terhadap hokum yang ada hubungan tertentu dengan kontrak bersangkutan. Persyaratan di atas merupakan usaha untuk menghindari kemungkinan pilihan hukum berubah menjadi penyelundupan hukum. Dalam hubungan ini dapat ditunjuk pada perkara-perkara riba, yang seringkali terjadi pada Yurispudensi USA tentang perbedaan “rate” bunga dan syarat-syaratnya di berbagai negara bagian, mengakibatkan terjadinya penyelundupan hokum dengan jalan pilihan-hukum. Dalam hal ini Hakim berpendirian bahwa pilihan hukum hanya dapat diterima, jika hukum yang dipilih merupakan hukum domisili sebenarnya para pihak dan kontrak ditutup, sekaligus
stipulate that their contract shall be governed by the contract, provided that the stipulation express the bonafide intention of the parties. But a contract will not be enforced in England, whetherm lawful by the law which the parties intended to be applicable or not, (1) if it or the enforcement of it is opposed in English interests of state, or to the police of the English law, or the moral rules upheld by English law…”
dianggap dibuat, dan dilaksanakan dan dilakukannya pembayaran.19
3. Choice of Law Dalam Praktek Perbankan
Secara empiris putusan hakim Indonesia yang berkaitan dengan choice of law dalam perkembangannya jarang ditemukan, disebabkan perkaraperkara yang diajukan ke pengadilan Indonesia pada umumnya kurang dipermasalahkan pilihan hukum oleh para pihak, demikian pula terdapat sebagaian besar hokum Indonesia yang mengatur pembatasan pilihan hukum, yang berdampak kepastian hukum.
Kenyataan dapat disimak sejak dahulu, bahwa dalam praktik choice of law terdapat pembatasan pemberian hak terhadap para pihak.
Sebelum kemerdekaan dapat dilihat dalam kasus “Tijdschrift van het Recht”, diputuskan hakim Indonesia berkaitan dengan sistem choice of law, atau rectskeuze yaitu Arrest dari Hoogerechtshof tahun 1935, tentang penggunaan wesel yang telah diendosir kepada order dari
19 Sudargo Gautama, op. cit hal 123. Niboyet yang dikutip oleh Sudargo Gautama menegaskan
bahwa penunjukan kepada hukum intern negera bersangkutan yang dapat diterima. Jika diakui
adanya kewenangan untuk memilih hukum disatu pihak, maka tidaklah pada tempatnya bahwa
hukum yang dipilih ini kemudian kembali menunjuk kepada hukum lain sebagai hokum yang akan memecahkan sengketa yang bersangkutan. Jika demikian halnya, maka ini akan merupakan suatu kontradiksi dengan pikiran mengenai otonomi.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 10 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
dan diserahkan kepada Barclay’s Bank Limited. Kasus Zecha v. Samuel Jones & Co (Export) Ltd, Pedagang Lois Zecha yang bertempat tinggal di Sukabumi dan pedagang dengan merek dagang “Soekaboemische Snelpersdrukkerij” telah digugat oleh perusahaan Inggris Samuel Jones & Co (Export) Ltd, berkedudukan di London, untuk membayar 12 wesel yang telah ditarik oleh perusahaan George Man & Co Limited di London pada ordernya sendiri atas tergugat Zecha, wesel-wesel tersebut telah diaksep oleh George Man & Co Limited, sebagian dari wesel-wesel ini telah diendosir kepada order dan diserahkan kepada Barclay’s Bank Limited, yang kemudian diedarkan kepada pihak lain, dan setelah jatuh tempo pihak Zecha tidak bersedi membayar.20
Menurut pertimbangan Hooggerechtshof para pihak saat melakukan perbuatan-perbuatan tersebut adalah agar hokum Indonesia yang diberlakukan. Para pihak telah memilih hukum
20 Sudargo Gautama, op.cit 211. Sebagai alasan dikemukakan bahwa tuntutan berdasar weselwesel ini tidak beralasan, justru pihak Zecha yang mempunyai gugatan penggantian kerugian setelah wanprestasi oleh pihak Mann & Co, berdasarkan jual beli mesin, karena mesin tersebut rusak dan tidak dapat dipergunakan, berakibat telah ditarik wesel-wesel tersebut. Pihak Jones sudah mengetahui lebih dahulu sebelum mengambil alih wesel-wesel tersebut. Pengambilalihan wesel-wesel oleh Jones ini juga semata-mata merupakan suatu perbuatan purapura (schijnhandeling) karena sebenarnya cessiecessie bersangkutan hanya dilakukan supaya lebih mudah pihak Mann & Co dapat memperoleh jumlah yang dituntutnya.
Indonesia sebagai sistem hokum yang bersangkutan yang harus
dipergunakan.21
Walaupun dari kasus ini ternyata bahwa cessie bersangkutan telah dilakukan di London, dihadapan Notaris Jhon Dalton Venn, yang berpraktik di kota itu. Hooggerechtshof beranggapan bahwa hukum Indonesia yang berlaku. Dalam hal ini terlihat bahwa Hooggerechtshof tidak mempertimbangkan lex loci
contractus sebagai yang menentukan, dan kemampuan para pihak yang lebih diutamakan pada tempat dimana akta dibuat.
Dengan mempergunakan hokum Indonesia, Hooggerchtshof berpendirian bahwa akta-akta cessie yang dibuat mempunyai titel yang sah karena ternyata cessie dan peralihan hak yang bersangkutan telah terjadi dengan pembayaran oleh pihak Jones kepada Barclay’s Bank dari jumlah yang ditagih oleh Jones dari Zecha, dan cessie semacam ini dianggap berlaku menurut ketentuan-ketentuan
hukum Indonesia.
Peranan ketertiban umum dalam penentuan choice of law diefektifkan dalam memutuskan
21 Pertimbangan Hooggerechtshof untuk mengetahui apakah yang merupakan kehendak para pihak saat membuat perjanjian itu, berbunyi sebagai berikut: “de grief den hove gegrond voorkomt, Immers en het feit dat de akten in de Nederlandsche taal zijn gesteld en ook den
inhound van de akten erop wijzen, dat zowel de cedens als de cessionaries de toepasselijkheid van het Nederlansch-indisch recht voor oogen stond”.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 11 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
kasus-kasus oleh pengadilan dan Mahkamah Agung di negara-negara di dunia, misalnya di Amerika Serikat.
Dalam perkara First National Bank vs Banco Pere El Commercio Exiterior de Cuba,22 tahun 1983, Mahkamah Agung Amerika Serikat, telah menggunakan pilihan hukum dan ketertiban umum dalam menentukan kasus nasionalisasi property yang dilakukan Cuba bertentangan dengan ketertiban umum, yaitu tidak sesuai dengan hukum yang berlaku dan situasi yang terjadi. Putusan Mahkamah Agung mengijinkan “Citibank’s set off, advancing both equitable principles and United States public policy”. Pengadilan di Amerika Serikat menghormati pilihan hukum para pihak dalam kontrak internasional, namun mempergunakan konsep
ketertiban umum (public policy) sebagai suatu alat yang mengizinkan forum pengadilan untuk mengabaikan penerapan hokum asing yang tidak sesuai. David Cliffort mengatakan bahwa pembenaran klasik penggunaan konsep public policy terhadap pilihan hukum, yaitu penerapan dalam tradisi kesejahteraan umum.23
22 Yansen Dermawan Latief, Disertasi, Pilihan Hukum dan Pilihan Forum Dalam Kontrak
Internasional, Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Program Pascasarjana, Jakarta 2002, 67-
72. 23 David Cliffort, “Transnational Public Policy as a Factor in Choice of Law Analisis”, New York Law School of Journal of International and Comparative Law; 1984, 5 No. 2 & 3, P 367.
Pembatasan terhadap pilihan hokum para pihak diatur dalam Pasal 187 (2) (b) The Restatement (second), yang menentukan pengadilan mengikuti hukum para pihak, kecuali bertentangan dengan kebijaksanaan mendasar dari Negara yang mempunyai hubungan lebih erat dengan pilihan hukum yang telah dilakukan.24
Klausula pilihan hukum memang secara esensi memberikan para pihak kecakapan untuk mengeluarkan suatu peraturan “illegality” atas kontrak dan
mengesampingkan hukum, namun the restatement juga menentukan pembatasan-pembatasan. The Restatement’s “fundamental policy” dan “materially greater interest test” adalah suatu versi modifikasi dari pendekatan analisis kepentingan (interest analisis).25
24 Ari Dobnert, “Litigation for Sale “University of Pennsylvania Law Review. V. 144:1529. Ia
mengemukakan bahwa application of the law of chosen state would be contrary to a fundamental
policy of state which has a materially greater interest than the chosen state in the
determination of the particular issue and which, under the rule of & 188, would be the state of applicable law in the absence of an effective choice of law by the parties.
25 Joint venture antara warga negara Cuba dan perusahaan-perusahaan Amerika Serikat telah
menanamkan modal di Cuba. Dalam pelaksanaannya beberapa bank, termasuk Citibank telah membuka cabang di Cuba untuk melancarkan usahanya termasuk dana investasi, namun demikian, akibat politik, hubungan Cuba dan Amerika Serikat semakin sulit saat itu.
Amerika Serikat melakukan ketentuan melarang impor gula dari Cuba. Untuk menanggulangi persoalan bisnis, pemerintah Cuba mengeluarkan peraturan menasionalisasi seluruh property dari penduduk Amerika Serikat di Cuba. Cuba mengatakan bahwa Banco National mempunyai
suatu “legal personality and was a separate juridical entity. Banco National capable of suing
and being sued”. Bank hanya bertanggung jawab
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 12 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
Indonesia menganut kedua asas tersebut, baik asas kebebasan berkontrak maupun ketertiban umum, atas dasar Pasal 1337 KUHPerdata, bahwa suatu sebab terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum, demikian pula Pasal 25 AB, bahwa perbuatan atau perjanjian tidak boleh menghilangkan kekuatan peraturan hukum, ketentuan umum atau kesusilaan. Pasal 17 AB mengatur tentang barang tidak bergerak berlaku hukum nasional di tempat barang itu terletak sesuai dengan asas lex rei sitae. Bagi tanah yang dijadikan jaminan harus didaftarkan pada kantor pertanahan, dalam
perjanjian antara kreditur asing dan debitur Indonesia.26 Demikian pula ketentuan UU Kepailitan menentukan penyelesaian kepailitan berdasarkan hokum Indonesia, dan bukan pilihan hukum para pihak. Ketentuan UU Kepailitan mengabaikan pilihan hukum para
terhadap modal dan aset, dan bukan merupakan tanggung jawab pemerintah Cuba atas utang
Banco National. Revolusi Cuba mengakibatkan perubahan ,ekonomi, sosial dan politik, “(t) here was a studied effort to preserve a continued corporate existence, while reorganizing the Central Bank to conform it to the new order”. Dengan demikian terjadi perubahan signifikan. Pertama, seluruh Banco National dimiliki dan dikontrol oleh pemerintah Cuba. Kedua, nasionalisasi secara
khusus terhadap property beberapa bank Amerika Serikat, termasuk Citibank. Dalam sengketa, Citibank dimenangkan atas dasar ketertiban umum.
26 St Remy Sjahdeni, Hak Tanggungan, Asas-asas Ketentuan Pokok dan Masalah Perbankan.
Pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan untuk lahirnya hak tanggungan, dan untuk mengikatnya pada pihak ketiga, Bandung, Penerbit Alumni, Hal 36-44.
pihak dalam kontrak bisnis internasional, dan menerapkan hukum Indonesia dalam penyelesaian sengketa insolvensi, dan penundaan pembayaran utang melalui kewenangan khusus, berupa yurisdiksi substantif yang efektif, berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan choice of law dalam conflict of law memberikan hak kepada para pihak untuk
menentukan hukum yang berlaku bagi bisnisnya. Hakim negara-negara
di dunia menghormati pilihan hukum para pihak. Namun demikian ada pembatasannya, melalui penerapan asas ketertiban umum, misalnya berdasarkan UU nasional pelaksanaan kontrak, misalnya di Indonesia UU Kepailitan yang menentukan berlakunya hokum nasional dalam penyelesaian conflict of law. Apabila hukum yang dipilih tidak mempunyai hubungan yang substantif dengan transaksi dan tidak memiliki alasan yang cukup bagi pilihan hukum para pihak, maka hakim akan menentukan hukum manakah yang berlaku.
Hukum negara hakim yang mengadili dapat menjadi dasar penyelesaiannya apabila hokum yang dipilih para pihak tidak dapat diterapkan dalam sengketa yang terjadi.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 13 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
DAFTAR PUSTAKA
Cliffort, David. Transnational Public Policy as a Factor in Choice of Law. Harvard
University Press, 1979. School of Journal of International and comparative
Law, 1984, 5 No. 2 & 3, P. 367.
Dobnert, Ari. Litigation for Sale. University of Pennsylvania Law Review. V. 144:
1529.
Gautama, Sudargo. Hukum Perdata Internasional. Jilid II Bagian 4. Buku ke 5.
Bandung: Alumni, 1992.
Kolewijn, RD. Rechtskeuse Een Nederlandsch Indische Rechtspiegelvoorge
houden aan het International Privaatrecht. Nederland, Marthijn Nijhof,
1969.
LJ, De Winter. Dwingen Recht bij Internationale Overeenkomsten. Leiden,
University of Leiden, Marthijn Nijhof, Nederland, 1964.
Schnitzer, dalam Handelingen Nederlandse Juristenvereeniging. Marthijn Nijhof,
Nederland, 1999.
Scholten, Paul. Verzamelde Opstellen over intergentiele Privaatrecht Rechtsgeleer
de Opstellen Aangeboden aan. Bandung, 1955.
Sjahdeini, St Remy. Hak Tanggungan, Asas-asas, Ketentuan dan Pokok dan
Masalah Perbankan. Bandung: Alumni, 1999.
Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Pustaka Djembatan, 1982.
Szaszy Schnitzer. Private International Law in European People’s Democraties.
Leiden, Leiden Universiteit, 1964.
Triebel, Volker. The Choice of Law Commercial Relations, A German Perspective,
International and Comparative Law Quarterly, Vol 37, October 1988.
Yansen Demawan Latief. Disertasi, Pilihan Hukum dan Pilihan Forum Dalam
Kontrak Internasional. Jakarta: Fakultas Hukum Program Pascasarjana,
Universitas Indonesia, 2002.
( Sumber Internet )

Tidak ada komentar: