Minggu, 27 Juli 2008

Prospek Perbankan Syariah Pasca Fatwa MUI

PROSPEK PERBANKAN SYARIAH PASCA FATWA MUI
Oleh
ESTHER DWI MAGFIRAH
Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 16
Desember 2003 mengeluarkan fatwa bahwa bunga bank termasuk dalam kategori riba yang dikukuhkan pada 6 Januari 2004.
Fatwa tentang bunga bank adalah riba bukanlah wacana baru bagi umat Islam. Di Indonesia, MUI telah beberapa kali mencetuskan wacana tersebut, masing – maisng pada tahun 1990 yang diikuti dengan berdirinya bank syariah pertama yaitu Bank Muamalat Indonesia, kemudian pada tahuan 2000 Dewan Syariah Nasional mengeluarkan fatwa bahwa penerapan suku bunga bank bertentangan dengan syariah Islam.
Dasar Hukum Bunga Bank
Fatwa MUI bahwa bunga bank adalah riba muncul dengan merujuk pada ayat – ayat Al – Qur’an, khususnya Q. S An – Nisaa : 19 ; Q. S An – Nisaa 160 – 161 ; Ar Ruum 39 ; Q. S Ali Imran 130 dan Q. S Al – Baqarah 278 – 279.
Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Al – Qur’an adalah setiap penambahan yang diambil tanpa adanya suatu transaksi pengganti atau penyeimbangan yang dibenarkan syariah. .
Transaksi pengganti yaitu transaksi bisnis yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil, seperti transaksi jual – beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek (Antonio, 2001 : 38).
Menanggapi munculnya fatwa MUI tentang bunga bank tersebut, Pengurus Besar Nadhatul Ulama (PBNU) dan Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah menilai bahwa fatwa MUI yang mengharamkan berbagai bentuk bunga (interrest) seperti bunga bank dan asuransi adalah keputusan yang tergesa – gesa. Bahkan di kalangan ulama, masalah bunga bank ini masih kontroversial (Pikiran Rakyat, Desember 2003).

Di tahun 1990 – an, K. H. Hasan Basri, pernah menyatakan bahwa ada dua pendangan dalam Islam mengenai bunga bank. Pandangan pertama menyatakan bahwa bunga bank adalah haram karena mengandung unsur tambahan pembayaran (ziyadah) tanpa resiko (muqabil). Tambahan pembayaran itu diisyaratkan dalam perjanjian dan dapat menimbulkan pemerasan. Pendapatan kedua menghalalkan bunga bank karena adanya unsur sukarela antara kedua pihak, tidak ada unsur pemerasan dan mempunyai fungsi untuk kepentingan umum (AngkatanBersenjata, 31 Agustus 1992).
Opini yang senada diutarakan oleh Achmad Chotib, Guru Besar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Menurut Achmad Chotib bunga bank tidak haram.
Uang yang dikelola oleh lembaga perbankan tidak dilipatgandakan sehingga tidak menyalahi ketentauan Al – Qur’an tentang riba. Bunga bank sendiri umumnya tidak besar, nilai atau prosentasi bunga bank sudah diumumkan terlebih dahulu pada nasabah bank sebelum nasabah menggunakan layanan jasa keuangan perbankan. Sudah sewajarnya apabila lembaga perbankan menerapkan bunga atas dana nasabah dalam rangka melaksanakan fungsi intermediary jasa layanan keuangan (Pelita, 9Juli 1990).
Menurut Masdar F. Mas’udi menyatakan bahwa fatwa MUI bersifat pendapat hukum (legal opinion) yang tidak memaksa dan tidak mengikat. Menaggapi pro dan kontra yang mengiringi munculnya fatwa MUI tentang bunga bank, ketua Komisi Fatwa MUI K. H. Ma’ruf Amin meminta agar masyarakat tidak perlu resah sehubungan dengan dikeluarnya fatwa MUI yang mengharamkan bunga bank. Pasalnya fatwa tersebut bersifat fleksibel dan tidak mengikat sehingga masyarakat tidak harus menarik dananya dari bank – bank konversional. (Pikiran Rakyat, 17 Desember 2003).
Prospek Perbankan Syariah Pasca fatwa MUI
Eksistensi perbankan sebagai layanan jasa keuangan berbasis pada kepercayaan nasabah. Sebagaimana diatur dalam ketentuan perbankan dalam Undang – Undang No. 7 Tahun 1992, tentang Perbankan Jo Undang – undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU Perbankan dengan adanya ketentuan syariah, pasal 1 butir 1 jo butir 13, yang dimaksud dengan Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
Sedangkan arti dari prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hokum Islam antar bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan usaha lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual – beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah) atau pembiayaan modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah iqtina).
Dengan adanya UU No. 10 Tahun 1998 maka berlaku dual system dalam pengelolaan bank, yakni secara konversional dengan menggunakan bunga (interrest) untuk setiap peminjaman atau penyimpangan dana, serta menggunakan sistem bagi hasil yang merupakan dasar perbankan syariah.
Faktor utama sebagai dasar pertimbangan bagi nasabah dalam memilih layanan perbankan adalah kepercayaan atas kinerja profersional perbankan, seperti jaminan keamanan dana nasabah, efektifitas dan efisien layanan jasa perbankan. Faktor bunga tidaklah menjadi alasan utama nasabah dalam memilih jasa perbankan, sebagian masyarakat tidak terlalumemperhatikan masalah atas bunga tersebut dan lebih mengutamakan efektifitas, efisiensi dan keamanan atas dana yang disimpan oleh lembaga perbankan.
Eksistensi lebaga perbankan syariah dalam beberapa tahun terakhir memang menjadi salah satu alternative lembaga keuangan bagi masyarakat sebagai dampak krisis ekonomi 1997 yang berimbas pada likuidasi perbankan nasional. Dalam kurun waktu 1997 hingga saat ini lembaga perbankan syariah mengalami pertumbuhan yang signifikan. Jumlah bank tumbuh dengan pesat dari hanya satu bank umum syariah dan 78 BPRS pada tahun 1998 menjadi 2 bank umum syariah, 3 UUS, dan 81 BPRS pada akhir Tahun 2001. Jumlah Kantor Cabang dari bank umum syariah dan UUS tumbuh dari 26 menjadi 51.
Aset perbankan syariah juga tumbuh dengan pesat dari Rp. 479 milyar pada tahun 1998 menjadi Rp. 2.781 milyar pada tahun 2001. meskipun kontribusinya terhadap total asset perbankan nasional masih relatif kecil (penetrasi asset 0,26 %), asset perbankan syariah mampu mencapai pertumbuhan 74 % pertahun selama periode 1998 – 2001.
Dana pihak ketiga meningkat dengan cepat dari Rp. 392 milyar menjadi Rp. 1.806 milyar dan rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga hanya turun sedikit 117 % pada tahun 1998 menjadi 113 % tahun 2001.
Sampai tahun 2002, industri perbankan syariah memiliki 88 institusi (2 bank umum syariah, 5 bank umum konvensional yang memiliki cabang syariah, dan 81 BPRS) dengan jumlah jaringan kantor (network) sebanyak 136 yang tersebar di 20 propinsi (Harisman, 23Juni 2002).
Tetapi kepercayaan masyarakat yang sempat goyah terhadap perbankan konvensional akibat krisis moneter dan perbankan tahun 1997 tersebut, kembali pulih dan tetap menjadi mainstream bagi masyarakat dengan alasan kepercayaan atas profesional perbankan.
Menanggapi timbulnya interrest masyarakat atas prinsip syariah, perbankan konvensional pun dengan responsif mengembangkan layanan dengan membuka unit syariah dalam fasilitas layanan jasa perbankan. Dengan professional kinerja perbankan dan kredibilitas yang sudah disandangnya, keberadaan unit perbankan syariah dalam perbankan konvensional telah menjadi kompetitor bagiperbankan syariah.
Munculnya fatwa MUI bahwa bunga bank adalah riba, patut dihargai sebagai upaya sosialisasi aktivitas perbankan berdasarkan perspektif keislaman. Namun, keputusan untuk memilih penggunaan layanan jasa perbankan konversional atau syariah tetap berada pada pihak nasabah. Dan hal yang wajar apabila sebagian besar nasabah akan memilih layanan jasa perbankan atas dasar porfesionalisme. Jadi bagi lembaga perbankan syariah, fatwa MUI akan mempertegas kehadiran perbankan syariah bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas warga negaranya beragam Islam. Namun, prospek perkembangan perbankan syariah untuk mampu bersaing dengan perbankan konvensional yang telah lebih dahulu mapan dan berpengalaman dalam kinerja perbankan harus berorientasi pada profesionalisme.
Paradigma kebijakan yang diperlukan untuk menjamin konsistensi peran dalam pengembangan perbankan syariah antara lain :
1. Pengembangan SDM perbankan syariah
2. Pengembangan instrumen – instrumen layanan jasa perbankan syariah
3. Sosialisasi program dan layanan jasa perbankan syariah
4. Profesionalisme kinerja dan layanan jasa perbankan
5. Segmentasi pasar perbankan syariah
6. Pengembangan networking dalam skala nasional maupun internasional
Realisasi kebijakan pengembangan syariah memang tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.
Keberadaan fatwa MUI meneguhkan eksistensi perbankan syariah sebagai alternative lembaga keuangan selain perbankan konvensional. Namun untuk bisa berkompetisi harus berorientasi pada profesionalisme dengan secara konsisten merealisasikan paradigma kebijakan perbankan syariah yang tertulis di atas. (Sumber Internet)

Tidak ada komentar: