Minggu, 27 Juli 2008

Tanggung Jawab Korporasi Dalam Hal Mengalami Kerugian, Kepailitan atau Likuidasi

TANGGUNG-JAWAB KORPORASI DALAM HAL MENGALAMI KERUGIAN, KEPAILITAN ATAU LIKUIDASI*
* termasuk tanggung jawab korporasi terhadap pekerja/buruh sebagai salah satu kreditur preferen.
Oleh : Umar Kasim
PENDAHULUAN
Dalam dunia bisnis para pelaku uasaha dalam melakukan kegiatan usaha selain dapat dilakukan sendiri dengan mengelola dan memanage usahanya secara langsung, juga dapat dilakukan bersama-sama oleh dua orang/pihak atau lebih dalam suatu "wadah" badan usaha atau entity. Apabila dilakukan sendiri (without patners) ia di sebut sebagai soleproprietor, entrepreneur, baik dilakukan atas dasar profesi ( soleparactitioner) ataupun dilakukan atas dasar usaha perdagangan (soletrader). Usaha bisnis yang dilakukan secara bersama-sama dalam suatu badan usaha atau "wadah", disebut sebagai korporasi atau company. Korporasi dengan berbagai macam bentuk dan ragamnya, bisa dengan badan hukum, bisa dengan bentuk bukan badan hukum. Permasalahannya, bagaimana kalau kegiatan usaha yang dilakukan oleh (para) pelaku bisnis tersebut mengalami kerugian atau kepailitan yang menyebabkan ia tidak dapat memenuhi kewajibannya terhadap pihak ketiga atau terhadap stakeholder yang terkait?
Apabila suatu usaha mengalami kerugian,kepailitan atau likuidasi,baik usaha perseorangan (soleproprietorship) atau usaha bersama ( corporation), dan (mungkin) terdapat pihak-pihak (lain) yang dirugikan atau belum dipenuhi haknya,maka ia harus bertanggung jawab terhadap pemenuhan kewajiban atas kerugian dimaksud. Sejauhmana tanggung jawab para pelaku usaha atau pebisnis selaku entrepreneur terhadap pihak ketiga dan para stake holder yang terkait, sangat ditentukan oleh pelaksanaan kegiatan tersebut atau jenis entitynya. Jika pelaksanaan ke giatan usahanya dilakukan sendiri ( oleh soleproprietor), maka jelas tanggung-jawabnya langsung kepada soleproprietor yang bersangkutan. Namun jika dilakukan bersama-sama dengan partners usahanya, maka tanggung jawab tersebut sangat ditentukan dari jenis badan usaha (entity) yang dibentuk sebagai wadah atau lembaganya,demikian juga sangat tergantung pada perjanjian ( memorandum of association) masing-masing orang atau pihak dalam lembaga tersebut. Demikian juga harus dilihat dan dicermati : apakah merupakan tanggung jawab corporate atau ataukah tanggung jawab dari masing-masing orang atau pihak (baik selaku naturliijkperson atau sebagai naturliijkpersoon atau sebagai rechtspersoon). Tanggung-jawab korporasi inilah yang akan dikaji dan dianalisa dalam tulisan ini melalui beberapa teori-teori tanggung jawab korporasi yang terkait (antara lain) dengan teori ultra vires dan intra vires, teori fiduciary duty dan duty of skill and care, businees judgement rule, corporate ratification serta teori atau doktrin plercing the corporatevell.
TANGGUNG - JAWAB KORPORASI PADA UMUMNYA
Sebagaimana disebutkan pada bagian awal, bahwa pada prinsipnya yang bertanggung jawab terhadap pihak ketiga dalam hal suatu korporasi apabila mengalami kerugian, kepalilitan atau likuidasi,adalah korporasi itu sendiri (yang dalam hal ini diwakili oleh pengurusnya). Artinya, apabila korporasi mengalami kerugian,kepailitan atau ilkuidasi yang mengakibatkan ada pihak lain yang dirugikan, maka korporasi-lah selaku entity (melalui Pengurusnya) yang pertama kali harus dimintai pertanggung jawaban. Sejauhmana pertanggung-jawaban korporasi tersebut, sangat tergantung dari status dan jenis entiiynya sebagai subjek hukum.
Ditinjau dari statusnya sebagai subjek hukum,korporasi dibedakan atas korporasi dengan status badan hukum (seperti Perseroan Terbatas / PT , Koperasi, Yayasan Asuransi, Dana Pensiun dan lain-lain) dan korporasi dengan status bukan badan hukum ( seperti Perseroan Kommanditer commanditer vennootschap onder firma, Fa), Persekutuan Perdata ( bulgerliik maatschap), Assosiasi (gemeenschap) dan lain-lain.




Apabila suatu korporasi berbentuk badan hukum ( seperti bentuk perseroan terbatas atau PT, Koperasi, Yayasan, Asuransi atau Dana Pensiun dan lain-lain), dan pengurus atau direksi melakukan pengelolaan korporasi sesuai dengan rule of the game berdasarkan azas good corporate govermance serta pengurus melakukan kegiatan atau tindakan dalam batas-batas intra vires (sesuai dengan kewenangannya dalam anggaran dasar korporasi), maka tanggung jawab pengurus kepada pihak ketiga hanyalah memberikan ganti rugi atau bertanggung jawab sampai kepada membayar atau memenuhi kewajiban korporasi sebesar nilai aset atau aktiva (kebendaan) yang masih dimiliki oleh korporasi. Berdasarkan doktrin businees judgement rule, yang dikemukakan oleh Munir Fuady, dapat disarikan bahwa seorang pengurus atau anggota direksi tidak dapat dimintai pertanggung-jawaban secara pribadi atas tindakannya yang dilakukan dalam kedudukannya sebagai pengurus atau direktur yang ia yakini sebagai tindakan terbaik buat korporasi atau perseroan dan dilakukan secara jujur, dengan itikad baik dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Bahwa tindakan tersebut ternyata keliru atau tidak menguntungkan korporate dan bahkan merugikan,maka pengadilan atau ownwers (pemegang saham) tidak boleh melakukan second guess terhadap keputusan bisnis (businees judgment) dari direksi atau pengurus (pg 7).
Apabila suatu korporasi berbentuk badan hukum, akan tetapi pengurus melakukan pengelolaan mis-management atau melakukan kegiatan atau tindakan ultra vires (menyimpang dari anggaran dasar korporasi) dan ternyata aset atau aktiva yang dimiliki oleh korporasi sudah tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban kepada pihak ketiga (yakni para kreditur atau stake holder yang terkait) maka pengurus bertanggung-jawab renteng dan penuh untuk seluruhnya kepada pihak (hoofdelijk aansprekelijk) dan masing-masing secara peribadi (proporsional) dan sampai kepada harta pribadi.
Khusus pada korporasi yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang merupakan subyek hukum berbadan hukum yang sering digunakan dalam dunia bisnis, pada prinsipnya pemegang saham ( pemodal,owners) pada perseroan terbatas tidak dapat dimintai pertanggung jawaban secara pribadi melebihi nilai saham yang ia masukkan dalam perseroan. Namun berdasarkan prinsip piercing the corporate veil apabila pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun secara tidak langsung dengan itikad buruk terbukti memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi atau terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan atau menggunakan kekayaan perseroan ( secara pribadi) yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi hutang atau kewajiban perseroan kepada pihak ketiga, maka pemegang saham dapat dimintai pertanggung jawaban secara pribadi dan sampai kepada harta pribadi. Demikian juga apabila perseroan terbatas (PT) tidak atau belum memenuhi syarat sebagai badan hukum, maka masing-masing pemegang saham yang biasanya adalah sekaligus pendiri juga bertanggung jawab sampai kepada harta pribadi. Mengenai tanggung jawab perseroan sebagai badan hukum dalam kaitannya dengan tanggung jawab Direksi akan diuraikan pada bagian tersendiri di bawah .
Selanjutnya, apabila suatu korporasi bentuknya bukan badan hukum (CV, Firma, Persekutuan Perdata), dan pengurus melakukan pengelolaan korporasi berdasarkan azas good corporate governance serta pengurus melakukan kegiatan atau tindakan dalam batas-batas intra vires,maka tanggung jawab pengurus kepada pihak ketiga pertama-tama hanyalah memberikan ganti rugi atau bertanggung jawab sampai kepada membayar atau memenuhi kewajiban korporasi sebesar nilai aset atau aktiva yang dimiliki oleh korporasi sudah tidak mencukupi untuk memenuhi kewajibannya kepada pihak ketiga, maka selanjutnya pihak pengurus dapat dimintai pertanggung jawaban secara tanggung renteng (hoofdelijkeheid proporsional) secara pribadi dan sampai kepada harta pribadi. Akan tetapi pihak pemodal (persero kommanditer, stille vennooten atau sleeping patners) khususnya pada bentuk usaha perseroan kommanditer (CV), yang hanya inbreng sebagai "investor" tidak dapat dimintai pertanggung-jawaban melebihi modal yang ia masukkan ke dalam perseroan, kecuali terdapat indikasi dan terbukti adanya keterlibatan pemodal dalam mis-management korporasi (menurut kajian teori piercing the corporate veil sama seperti pada perseroan terbatas),tentunya ia turut menanggung beban kerugian pihak ketiga dimaksud.
Sebagai contoh, pada kasus korporasi berbentuk CV, yang mengalami kerugian atau kepailitan, para persero pengurus atau persero aktif (persero komplementer, beherend vennoot) dapat dimintai pertanggung jawaban secara tenggang rentang proporsional sampai kepada harta pribadi ketika perseroan mengalami kerugian atau kepailitan bagi pihak ketiga, baik perseroan dalam keadaan mismanajement ataupun tidak. Namun sebaliknya para persero passif (pesero kommanditer, stille vennoten) hanya dapat dimintai pertanggung jawaban sampai sebesar modal yang disertakan kedalam perseroan,kecuali terbukti adanya keterlibatan atau turut campurnya persero passif ( sleeping patners) yang menyebabkan perseroan mengalami kerugian atau kepailitan.
Berbeda halnya perseroan firma, semua firman wajib terlibat (aktif) dalam pengelolaan perseroan sehingga semua firman bertanggung jawab atas tindakan perseroan dan kerugian yang dialami pihak ketiga terhadap perseroan. Dengan demikian apabila perseroan mengalami kerugian dan asetnya sudah tidak mencakupi untuk membayar atau memberikan ganti kerugian pihak ketiga, maka semua persero/firman bertanggung jawab secara tenggang rentang ( hoofdelijkaansprakelijk).
TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN TERBATAS
Salah satu bentuk badan usaha korporasi oleh para pelaku bisnis sebagai wadah dalam berusaha/berbisnis adalah perseroan terbatas. Mereka pelaku bisnis-pada umumnya menggunakan perseroan terbatas sebagai bentuk badan usaha dalam menjalankan bisnisnya,karena disamping bentuk pengaturannya cukup memadai, juga karena legalentity perseroan terbatas tersebut merupakan bentuk entity yang paling aman karena merupakan suatu badan hukum yang diakui eksistensinya dan diberikan pengaturan dan perlindungan secara lengkap oleh Undang-undang Nomor1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), terdapat 3 organ, yakni Rapat Umum Pemegang Saham -RUPS- Direksi dan Komosaris (UUPT), RUPS ( algemene vergardering van aandeelhourders) adalah lembaga yang mewadahi para pemegang saham ( stockholder, aandeelhourder) dan merupakan organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dan memegang kewenangan yang tidak diserahkan kepada Direksi dan Komisaris. Kemudian Direksi ( Board of Direktor, BoD). merupakan organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan ( viduciary duty), mewakili perseroan baik didalam, maupun di luar pengadilan berdasarkan anggaran dasar (intra vires). Sedangkan Komisaris (Board of Commisioner,BoC atau Board of Trustee) adalah organ perseroan yang bertanggung jawab melakukan pengawasan baik secara umum maupun khusus serta memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjalankan perseroan.
Berdasarkan pembagian tugas dan kewenangan masing-masing organ perseroan sebagaimana tersebut, apabila perseroan mengalami kerugian atau pailit yang menyebabkan perseroan tidak dapat menanggung beban kewajiban yang harus dipenuhi,maka pada prinsipnya yang bertanggung jawab adalah Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk dan kepentingan perseroan. Apabila anggota Direksi yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugas (ultra vires),maka setiap anggota Direksi yang bersangkutan bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian yang dialami perseroan (sampai kepada harta pribadi),kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Direksi merupakan personifikasi dari pada perseroan terbatas (Ahmad Yani & Gunawan Widjaya hal.96).
Walau tidak ada suatu rumusan yang jelas dan pasti mengenai kedudukan Direksi dalam suatu perseroan terbatas, yang jelas, Direksi merupakan Badan Pengurus Perseroan yang paling tinggi,karena Direksi berhak dan berwenang untuk menjalankan perusahaan, bertindak untuk dan atas nama Perseroan (baik di dalam maupun di luar pengadilan) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan dan jalannya Perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan ( sebagaimana disimpulkan dari Pasal 1 angka 4 jo Pasal 82 UUPT) ;
Walaupun tanggung-jawab Direksi demikian besar sebagai pemegang prokurasi (procuratiehouder) dari RUPS dan harus bekerja secara profesional (selaku duti of skill and care), bukan berarti bahwa Komisaris tidak mempunyai tanggung jawab dan tidak dapat dimintai pertanggung jawaban dalam hal terjadi kerugian atas perseroan, karena selain Komisaris bertugas mengawasi kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan perseroan serta memberikan nasehat kepada Direksi, juga apabila dalam anggaran dasar telah ditetapkan pemberian kewenangan kepada Komosaris untuk memberikan persetujuan kepada Direksi/anggota Direksi dalam melakukan suatu perbuatan hukum tertentu, maka dalam hal terjadi suatu kerugian perseroan atas persetujuan Komisaris tersebut, Komisaris dapat dimintai pertanggung jawaban atas tindakan hukum yang dilakukan oleh Direksi/anggota Direksi atas persetujuan Komisaris.
Demikian halnya dengan RUPS atau salah satu pihak/salah seorang atau lebih pemegang saham, hakekatnya tidak dapat dimintai pertanggung jawaban (secara pribadi atau bersama-sama) atas perikatan yang dibuat (Direksi) untuk dan atas nama perseroan. RUPS tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya. Namun berdasarkan teori piercing the corporate veil yang dianut oleh Undang-undang Perseroan


( Pasal 3) statement tersebut tidak berlaku apabila:
persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak dipenuhi ;
pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi ;
pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilkukan oleh perseroan ; atau
pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk memenuhi utang perseroan
Dalam hal demikian, maka RUPS, atau beberapa ataukah salah satu atau lebih pemegang saham dapat dimintai pertanggung jawaban secara pribadi ( hoofdelijk), sampai kepada harta pribadi. Untuk melihat dan mengetahui siapa yang paling bertanggung jawab dalam suatu kasus kepailitan atau kerugian perseroan, sangat tergantung dari pemeriksanaan hukum dan audit keungan (legal audit atau financial audit) dan aset dari lawyer dan akuntan publik terhadap perseroan tersebut. Beberapa contoh fakta yang mestinya diterapkan teori atau doktrin piercing the corporate veil adalah (misalnya) :permodalan yang tidak layak;penggunaan dana perusahaan (korporasi) secara pribadi ; ketiadaan formalitas eksistensi perusahaan ; atau adanya menyalah gunakan badan hukum ( Munir Fuady hal.61).
Teori atau doktrin piercing the corporate veil tidak dikenal dalam KUHD,akan tetapi secara sangat simpel diatur dalam UU Perseroan Terbatas (UU No. 1 Tahun 1995). Munis Fuady (hal 61) mengemukakan bahwa dokktrin (piercing the corporate veil) ini mengajarkan bahwa sungguhpun suatu badan hukum bertanggung jawab secara hukum hanya terbatas pada harta atau aset badan hukum tersebut, akan tetapi dalam hal-hal tertentu batas tanggung jawab tersebut dapat ditembus (piercing) sampai kepada harta atau aset para shareholders atau ownwers.
Dengan demikian, dalam menjalankan tugasnya, Direksi diberikan hak dan kekuasaan penuh, dengan konsekwensi : setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh Direksi akan dianggap dan diperlakukan sebagai tindakan dan perbuatan Perseroan,sepanjang mereka bertindak sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Anggaran Dasar, AD (intra virus) dan tidak melampui batas kewenangannya. Selama Direksi tidak melakukan pelanggaran atas anggaran dasar perseroan, maka perseroan-lah yang akan menanggung semua akibat dari perbuatan Direksi tersebut, termasuk apabila mengalami kerugian atau kepailitan (sebagaimana dimaksud dalam doktrin businees judgement rule tersebut di atas.
Sedangkan bagi tindakan-tindakan Direksi yang merugikan Perseroan, yang dilakukan di luar batas kewenangan yang diberikan kepadanya oleh anggaran dasar ( ultra virus), dapat tidak diakui oleh atau sebagai tindakan perseroan. Dengan ini, berarti Direksi bertanggung jawab secara pribadi atas setiap tindakannya yang di luar batas kewenangan yang diberikan dalam anggaran dasar Perseroan. Demikian,sehingga Board of Director atau setiap anggota Direksi yang bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya melakukan kepengurusan perseroan untuk kepentingan dan usaha perseroan, akan bertanggung jawab penuh secara pribadi untuk seluruh harta kekayaannya.
KEDUDUKAN HUKUM ANGGOTA DIREKSI DALAM PERSEROAN TERBATAS
Beberapa ilmuan hukum meruskan kedudukan Direksi dalam Perseroan sebagai gabungan dari dua macam perjanjian, yakni, sebagai perjanjian pemberian kuasa (procuratiehouder) disatu sisi; dan sebagai Perjanjian Kerja (labour agreement) disisi lain. Menurut Ahmad Yani & Gunawan Widjaya (hal,99), dalam pelaksanaanya kedudukan hukum Direksi/anggota Direksi harus ditafsirkan berdasarkan ketentuan dalam pasal 1601c KUH Perdata yang memberatkan (kedudukan Direksi dalam Perseroan) pada pelaksanaan perjanjian-perjanjian tersebut sebagai suatu perjanjian perburuhan.
Menurutnya,merumuskan kedudukan Direksi dalam dua hubungan hukum bukan masalah sepanjang kedua hubungan hukum tersebut dapat diterapkan secara konsisiten dan sejalan. Dalam hubungan hukum yang dirumuskan untuk Direksi tersebut, Direksi disatu sisi diperlukan sebagai penerima kuasa atau pemegang amanat dari perseroan untuk menjalankan perseroan sesuai dengan kepentingannya (yaitu) mencapai tujuan perseroan sebagaimana telah digariskan dalam anggaran dasar perseroan, dan sisi lain diperlakukan sebagai karyawan Perseroan (:pekerja/buruh) dalam hubungan atasan dan bawahan dalam suatu Perjanjian Perburuhan (:perjanjian kerja) yang mana berarti Direksi tidak diperkenankan untuk melakukan sesuatu yang tidak atau bukan menjadi tugasnya.
Disinilah sifat pertanggung-jawaban renteng dan pertanggung jawaban pribadi Direksi menjadi sangat relevan dalam hal Direksi melakukan penyimpangan atas "kuasa" dan "perintah"Perseroan, untuk kepentingan Perseroan, walaupun hubungan hukum organ-organ perseroan termasuk Direksi, adalah "wilayah hukum" corporate law.
Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT) mensyaratkan, bahwa anggota Direksi haruslah orang perorangan. Demikian itu berarti bahwa sisitim hukum Perseroan Indonesia tidak dikenal adanya pengurus Perseroan oleh badan hukum perseroan lainnya, maupun oleh badan usaha lain secara ex officio (baik yang berbadan hukum,maupun yang tidak berbadan hukum). Orang perseorang ( yang diangkat menjadi anggota Direksi) adalah mereka yang cakap untuk bertindak dalam hukum,maupun yang tidak berbadan hukum). Orang perseorang (yang diangkat menjadi anggota Direksi) adalah mereka yang cakap untuk bertindak dalam hukum,tidak pernah dinyatakan pailit oleh Pengadilan maupun menjadi anggota Direksi atau Komisaris (Perseroan lain) yang pernah dinyatakan bersalah telah menyebabkan pailitnya perseroan tersebut, dan belum pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan Negara dalam jangka waktu 5 tahun (terakhir), terhitung sejak tanggal pengangkatannya.
Dari rumusan tersebut jelas bahwa UUPT lebih mempertegas status dan kedudukan Direksi dalam Perseroan, yaitu pada suatu sisi UUPT masih memperlakukan pembayaran yang diterima oleh Direksi Perseroan sebagai gaji yang terbit sebagai akibat hubungan kerja majikan-buruh; dan hubungan ini juga membawa akibat bahwa setiap pemberhentian Direksi harus dianggap dan diterapkan sesuai dengan ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja (phk).
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaya lebih lanjut menyebutkan bahwa rumusan tersebut di atas tampaknya lahir dalam upaya melindungi hak-hak Direksi dalam suatu Perseroan yang di nilai cukup berlebihan tanpa menyadari bahwa para Direksi Perseroan ini sebenarnya adalah mereka yang profesional di bidang mereka masing-masing.
Mereka (para anggota Direksi) ini memperoleh penghasilan dari penjualan jasa dan kemampuan mereka untuk mengelola perusahaan dengan dan memberikan untung sebesar-besarnya bagi (para pemegang saham) Perseroan; dan sebagaimana layaknya seorang yang profesional dibidangnya, bagi mereka (para anggota Direksi) akan berlaku hukum alam (: hanya yang terbaik yang akan dipergunakan) yang sudah selayaknya tidak ada campur tangan Pemerintah.
Sifat tanggung jawab Direksi Perseorangan yang secara pribadi bertanggung renteng atas setiap perbuatan pengurusan Perseroan yang dilakukan oleh mereka secara menyimpang (ultra vires), merupakan refleksi atas pelaksanan tugas dan tanggung jawab atas seorang karyawan secara pribadi atas setiap tindakannya yang dilakukan secara berlainan dari perintah majikan tersebut.
Selama Direksi melaksanakan tugas sebagaimana seharusnya (intra vires), maka sudah selayaknyalah tidak dapat dimintai pertanggung jawaban secara pribadi, walaupun Pasal 1367 (1) dan (3) KUH Perdata merumuskan bahwa :
Seorang tidak bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya,atau disebabkan oleh barang- barang yang berada dibawah pengawasannya ( 1367) (1) KUH Per).
Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan, atau bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya(1367)(3) KUH Per).
Lebih lanjut, bahwa tanggung jawab (anggota Direksi) tersebut berakhir jika mereka (dapat) membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung-jawab itu (1367 (5) KUH per).
Dengan kata lain,ketentuan-ketentuan (Pasal 1367) sebagaimana tersebut, berlaku pula untuk hubungan Direksi dengan Perseroan. Selanjutnya UUPT juga memberikan hak kepada para pemegang saham (stockholder, shareholder) untuk menuntut Direktur secara pribadi atas setiap tindakan Direksi yang merugikan pemegang saham.
TANGGUNG JAWAB KORPORASI TERHADAP PEKERJA
Dalam kaitan dengan hukum ketenagakerjaan,yang menjadi persoalan adalah bagaimana kewajiban korporasi terhadap pekerja/buruh yang dirugikan, atau belum dibayar hak-haknya berkenaan dengan hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan korporasi?. Demikian juga seandainya korporasi mengalami kerugian atau kepailitan, dan aset atau aktiva korporasi sudah tidak mencukupi untuk membayar segala hutang-hutang atas perikatan yang dibuat oleh korporasi, siapakah yang harus didahulukan pemenuhan pembayarannya ?. Apa jaminan bagi pekerja / buruh yang merasa dirugikan karena hak-haknya belum dibayar, sementara pekerja atau karyawan telah menyumbangkan tenaga dan atau pikiran dalam proses produksi dan turut berperan serta dalam kemajuan dan eksitensi korporasi?. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, harus dilihat dan dikaji masing-masing bentuk korporasinya dan status entitynya.
Secara umum, menurut Pasal 1131 dan 1132 Burgerilijke Wetboek bahwa pada prinsipnya semua kebendaan (asset/aktiva) milik korporasi sebagai debitor, baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak, baik yang (sudah) ada maupun yang akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan yang dibuatnya. Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua kreditur (konkuren un secure creditor). Hasil Penjualan kebendaan debitor dibagi menurut keseimbangan yakni menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para kreditur terdapat alasan untuk didahulukan berdasarkan hak istimewa (previlegie).
Selanjutnya, dipenuhi kewajiban kepada semua kreditur yang tingkatannya sama dibayar secara proporsional yang lazim disebut sebagai kreditur konkuren (unsecure creditor).
Dengan kata lain, bahwa untuk memenuhi kewajiban korporasi terhadap semua kreditur atau pihak-pihak yang berpiutang pada prinsipnya kreditur / siberpiutang harus dipisahkan menurut tingkatan kelasnya. Tingkatan kreditur ada tiga macam kelas yang pemenuhan hak-haknya dipenuhi sesuai dengan urutannya, yakni kreditur separitis, kreditur preferen dan kreditur konkuren. Kreditur separatis (secure creditor) harus diutamakan pemenuhan hak-haknya daripada kerditor preferen. Demikian juga kreditur preferen harus lebih diutamakan pemenuhan hak-haknya dari pada kreditur konkuren.
Pekerja/buruh adalah termasuk kreditur preferen walaupun UU Ketenagakerjaan (Pasal 95 ayat (5) UUK) mendudukan kreditur pekerja/buruh sebagai kreditur (preferen) yang lebih diutamakan pada saat perusahaan dinyatakan pailit atau likuidasi. Dengan demikian berdasarkan urutan tingkatan kreditur tersebut, hak-hak pekerja/buruh dipenuhi apabila (para) kreditur separatis sudah dipenuhi oleh korporasi. Sebaliknya hak-hak pekerja/buruh yang termasuk dalam kreditur preferen harus terlebih dahulu dipenuhi sebelum memenuhi hak-hak kreditur konkuren. Hanya persoalannya adalah siapa sajakah yang termasuk dalam kreditur preferen tersebut?.
Hal ini harus melihat ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan secara komprehensif, termasuk UU Ketenagakerjaan, Vendu Reglement, UU Perpajakan dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek), khususnya Pasal 1139 dan 1149,serta UU lainnya yang terkait.
Menurut Pasal 1131 jo 1136 KUH Perdata, termasuk dalam kelompok kreditur separitis adalah hipotik, gadai, hak tanggungan, fidusia dan lain-lain. Kreditur separitis tersebut kedudukannya lebih tinggi daripada hak istimewa pada kreditur preferen.
Sedangkan kreditur preferen adalah kreditur yang oleh undang-undang diberikan hak untuk didahulukan pembayarannya semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.
Dan termasuk dalam kreditur preferen adalah kreditur atas piutang-piutang yang diistimewakan terhadap benda-benda tertentu dan kreditur yang mempunyai hak-hak istimewa atas semua benda-benda bergerak dan tidak bergerak pada umumnya, demikian juga pajak-pajak, hutang kepada Negara dan upah buruh. Siapakah yang terlebih dahulu dipenuhi hak-haknya diantara para kreditur yang diistimewakan, hal ini sangat tergantung dari sifat-sifat hak istimewanya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Yang jelas bahwa diantara para kreditur preferen pemenuhan hak-hak pekerja/buruh dilakukan setelah kewajiban kepada negara (: pajak), biaya perkara, biaya lelang telah dipenuhi.
Dengan demikian pekerja/buruh setidaknya berada pada urutan keempat dalam kelompok kreditur preferen.]

PENUTUP
Sebagai penutup dari tulisan ini dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab pelaku usaha dalam hal mengalami kerugian atau kepailitan dan bahkan apabila merugi atau pailit atau bahkan samapai dilakukan likuidasi, baik sebagai soleproprietor atau bersama-sama dalam suatu korporasi atau assosiasi, sangat tergantung dari bentuk usahanya dan memorandum of association para pihak yang terlibat. Dengan lain perkataan, masing-masing bentuk usaha yang dipilih oleh pelaku usaha mempunyai pengaturan dan cara penyelesaian yang telah diatur dan ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, yaitu seberapa besar tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian dan kepailitan suatu (badan) usaha, akan mempengaruhi besarnya tanggung jawab pelaku usaha yang harus diemban.
Sebagai organ Perseroan, Direksi melakukan pengurusan atas kegiatan pengurusan Perseroan untuk kepentingan, dan untuk mencapai tujuan. Perseroan serta mewakili Perseroan dalam segala tindakannya, baik di dalam maupun di luar Pengadilan (persona standi ini judicio).
Dalam melaksanakan kepengurusan terhadap Perseroan tersebut, Direksi tidak hanya bertanggung jawab terhadap Perseroan dan para pemegang saham Perseroan, melainkan juga terhadap pihak (ketiga) yang mempunyai hubungan hukum dan terkait dengan perseroan, baik langsung maupun tidak langsung dengan Perseroan.
Sebagaimana halnya seorang pemegang kuasa yang melaksanakan kewajibannya berdasarkan kewajibannya berdasrkan kepercayaan yang diberikan oleh pemberi kuasa untuk bertindak sesuai dengan perjanjian pemberian kuasa dan peraturan per UU yang berlaku, Direksi (sebagai pemegang fiduciary duties dari shareholders Perseroan) bertanggung jawab penuh atas pengurusan dan pengelolaan Perseroan untuk kepentingan dan tujuan Perseroan, dan untuk menjalankan tugas dan kewajiban yang diemban dengan itikad baik, sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh anggaran dasar Perseroan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam kaitannya dengan pemenuhan hak-hak pekerja atau karyawan apabila terjadi kerugian atau kepailitan atau penutupan perusahaan, hak pekerja/buruh dilakukan setelah hak-hak kreditur separitis telah dipenuhi. Pekerja atau karyawan adalah merupakan kreditur preferen setelah biaya-biaya lelang, kewajiban-kewajiban kepada Negara,biaya-biaya penguburan,pengobatan dan perawatan (jika ada), semuanya telah dipenuhi.
Demikan kiranya, semoga bermanfaat.

Sumber : Internet

Tidak ada komentar: