Senin, 28 Juli 2008

KOMISARIS INDEPENDEN BUKAN SEKADAR PELENGKAP

KOMISARIS INDEPENDEN BUKAN SEKADAR PELENGKAP
(Artikel ini telah dimuat di Harian BISNIS INDONESIA, Edisi Jum’at, 6 Juni 2008, pada Rubrik ”OPINI”, hlm. 7)
Oleh : Muh. Arief Effendi

Dewasa ini eksistensi komisaris independen di perusahaan publik sudah merupakan kebutuhan. Peran komisaris independen sangat signifikan dalam rangka mewakili kepentingan pemegang saham minoritas (minority interest) yang dimiliki oleh publik.
Komisaris independen memang masih relatif baru, mengingat regulasi yang mengatur eksistensi komisaris independen ditetapkan belum lama. Komisaris independen yang kapabel dan efektif di perusahaan publik merupakan salah satu pendorong implementasi Good Corporate Governance (GCG).
Sebelum diberlakukan ketentuan tentang komisaris independen, tidak ada pihak yang bertanggungjawab yang mewakili pemegang saham minoritas dalam forum Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) maupun rapat Direksi (Board of Directors) & komisaris (Board of Commissioner) perusahaan publik

PT. Bursa Efek Indonesia (BEI) telah mewajibkan adanya komisaris independen didalam kepengurusan emiten untuk mewakili pemegang saham minoritas tersebut. BEI telah mengatur tentang rasio komisaris independen yaitu komisaris independen jumlahnya secara proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh yang bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah komisaris independen sekurang kurangnya 30% (tigapuluh persen) dari seluruh jumlah anggota komisaris.
Beberapa persyaratan bagi komisaris independen antara lain melarang adanya hubungan terafiliasi baik dengan pemegang saham pengendali, direktur atau komisaris lainnya, bekerja rangkap dengan perusahaan terafiliasi dan memahami peraturan per-undang- undangan di bidang Pasar Modal. Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi komisaris independen dapat menjadi penyeimbang dalam pengawasan perusahaan publik.
Selain itu, Komite Nasional Good Corporate Governance (KNGCG) juga telah mengeluarkan pedoman tentang komisaris independen yang ada di perusahaan publik. Pada prisipnya, komisaris bertanggung jawab dan berwenang untuk mengawasi kebijakan dan tindakan direksi, dan memberikan nasehat kepada direksi jika diperlukan. Untuk membantu komisaris dalam menjalankan tugasnya, berdasarkan prosedur yang ditetapkan sendiri, maka seorang komisaris dapat meminta nasehat dari pihak ketiga dan atau membentuk komite khusus. Setiap anggota komisaris harus berwatak amanah dan mempunyai pengalaman dan kecakapan yang diperlukan untuk menjalankan tugasnya. Indonesian Society of Independent Commissioner (ISICOM) atau Paguyuban Komisaris Independen Indonesia beberapa waktu yang lalu telah meluncurkan Pedoman Komisaris Independen dan diharapkan dapat menjadi acuan bagi para Komisaris Independen di BUMN maupun perusahaan publik.
Berdasarkan informasi pihak otoritas Bursa sampai dengan awal tahun 2008 dari 272 perusahaan tercatat, ternyata baru 86% (240 emiten) yang telah memiliki komisaris independen dan sisanya masih terdapat 32 (14%) emiten belum memiliki komisaris Independen . Bank Indonesia (BI) telah melakukan uji coba penerapan GCG pada periode September 2007 terhadap 101 bank di Indonesia (termasuk kantor cabang bank asing) ternyata hasilnya hanya 30,7% yang memenuhi ketentuan lima pasal utama. Salah satu penyebab belum terpenuhinya GCG, adalah sebanyak 53,5% bank ternyata belum memiliki komisaris independen.
Intervensi
Komisaris independen memegang peran yang cukup signifikan, sebab dalam diri komisaris independen melekat tanggung jawab secara hukum (aspek yuridis). Menurut pengamatan penulis, dalam praktek di berbagai perusahaan di Indonesia, ternyata terdapat kecenderungan komisaris seringkali melakukan intervensi kepada direksi dalam menjalankan tugasnya. Di pihak lain biasanya kedudukan direksi terlalu kuat, bahkan terdapat beberapa direksi perusahaan publik yang enggan membagi wewenang, serta tidak memberikan informasi yang cukup kepada komisaris, terutama komisaris independen.
Selain itu, terdapat kendala yang cukup menghambat kinerja komisaris independen karena sebagian komisaris independen masih lemah kompetensi dan integritasnya. Hal ini dapat terjadi karena pengangkatan komisaris independen sebagian hanya didasarkan atas penghargaan semata, adanya hubungan keluarga (family) atau kenalan dekat (nepotisme). Seperti diketahui, masalah independensi (independency) dan kapabilitas (capability) komisaris independen merupakan hal yang sifatnya sangat fundamental. Oleh karena itu persyaratan untuk dapat diangkat sebagai komisaris independen seharusnya sangat ketat, antara lain memiliki integritas dan kompetensi yang memadai. Pihak otoritas bursa dan Bapepam-LK agar memonitor dan mengawasi secara periodik kinerja komisaris independen di perusahaan publik.
Eksistensi komisaris independen di perusahaan publik termasuk perbankan seharusnya bukan hanya sekedar pelengkap saja, tetapi diharapkan sebagai wujud implementasi GCG. Mengingat pentingnya peran komisaris independen dalam mewujudkan GCG, seharusnya pihak otoritas bursa dan BI memberikan sanksi yang tegas kepada perusahaan / bank yang belum mengangkat komisaris independen sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini penting, agar perusahaan publik termasuk perbankan tidak hanya memenuhi kepentingan pihak pemegang saham mayoritas saja.
Semoga eksistensi komisaris independen di perusahaan publik dapat berjalan secara efektif, sehingga diharapkan minat dan kepercayaan para investor (domestik dan asing) untuk menanamkan modalnya di Indonesia semakin meningkat. ***
*) Muh. Arief Effendi, Dosen Luar Biasa FE Universtas Mercu Buana, STIE Trisakti, FE Universitas Trisakti, dan Program MAKSI Universitas Budi Luhur.
(sumber Internet )

Tidak ada komentar: