Senin, 28 Juli 2008

GCG MELALUI CORPORATE CULTURE

GCG MELALUI CORPORATE CULTURE
(Artikel ini telah dimuat di Harian BATAMPOS,
Edisi Selasa, 16 Januari 2007, Rubrik “Opini”)
Oleh: Muh Arief Effendi *)
Akhir-akhir ini masalah budaya perusahaan (corporate culture) banyak mendapatkan sorotan. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya penurunan kinerja yang terjadi di berbagai perusahaan. Budaya perusahaan adalah kumpulan nilai-nilai (values) dan unsur-unsur yang menentukan identitas dan perilaku suatu organisasi perusahaan. Budaya perusahaan merupakan bagian dari strategi perusahaan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam visi dan misi perusahaan. Budaya perusahaan bukan hanya sekedar “buku pintar” yang tersimpan dalam laci atau rak-rak buku saja, namun perlu diaplikasikan dalam operasi perusahaan sehari-hari (day to day operation). Sukses tidaknya suatu perusahaan dalam menjalankan bisnisnya memang tidak terlepas dari budaya perusahaan yang dimilikinya. Oleh karena itu, budaya perusahaan perlu diaktualisasikan melalui penyusunan pedoman kebijakan (policy guidelines), sehingga diharapkan dapat memaksimalkan kontribusi seluruh anggota perusahaan didalam mewujudkan visi dan misi perusahaan.Keberhasilan implementasi Good Corporate Governance (GCG) dalam pengelolaan perusahaan pada era globalisasi sangat tergantung adanya nilai-nilai budaya perusahaan yang dianut dan dipraktekkan dilingkungan perusahaan. Saat ini budaya perusahaan telah menjadi tema sentral dalam pengembangan perusahaan, terutama menyangkut Sumber Daya Manusia (SDM). Selain itu budaya perusahaan merupakan prinsip dasar (basic principle) dalam pengembangan perusahaan untuk meningkatkan keunggulan komparatif (comparative advantage) dan daya saing perusahaan.Djoko Santoso Moeljono (2005) dalam bukunya “Good Corporate Culture sebagai inti dari GCG” menyatakan bahwa sebelum perusahaan menerapkan GCG sebaiknya perusahaan menerapkan terlebih dahulu nilai-nilai yang terkandung dalam Corporate Culture yang dianutnya. Selain itu, mantan CEO Bank BRI tersebut, juga menyatakan bahwa GCG dapat berjalan apabila individu-individu dalam perusahaan secara internal mempunyai sistem nilai (value system) yang mendorong mereka untuk menerima, mendukung dan melaksanakan GCG. Hal tersebut terbukti dengan keberhasilan beberapa perusahaan kelas dunia (world class company) maupun perusahaan multi nasional dalam menerapkan GCG setelah terlebih dahulu menjalankan dengan konsisten budaya perusahaan. Perusahaan yang dapat berkembang pesat dalam jangka panjang (sustainable company), ternyata semuanya memiliki budaya perusahaan yang kuat. Andrew E.B. Tani, konsultan SDM ternama, dalam majalah Warta Ekonomi edisi 11 (9 Juni 2006), menyatakan bahwa budaya perusahaan adalah sumber kekuatan perusahaan. Perusahaan yang memiliki budaya perusahaan yang kuat akan mampu bertahan melewati sejumlah tantangan yang muncul dalam berbagai masa, misalnya Procter & Gambler (P&G), IBM, Nokia dan General Electric (GE). Berikut ini beberapa falsafah yang dimiliki perusahaan kelas dunia yang dapat dijadikan contoh (benchmark), yaitu P&G terkenal dengan falsafah “Business integrity, fair treatment for employees”, IBM dengan “IBM means services” , Nokia lewat “connecting peoples”dan GE dengan falsafahnya “Progress is our most important product”.
PT. Astra International Tbk, jauh hari sebelum menerapkan GCG di perusahaan, ternyata telah memiliki nilai budaya yang disebut Catur Dharma. Teddy P. Rahmat saat menjadi CEO di Astra International pada awal tahun 1980-an, pernah mengatakan bahwa esensi budaya perusahaan adalah kepemimpinan. Beliau termasuk orang pertama yang menganggap perlu adanya budaya dan tata nilai, sekaligus yang ikut menjalankan dan mendorongnya. Hal ini merupakan satu cara untuk menciptakan budaya perusahaan yang sesuai sehingga dapat mendorong pengambilan keputusan serta mengendalikan tingkah laku dalam berbisnis.
Beberapa BUMN besar seperti PT Timah, PT Krakatau Steel dan PT PLN juga telah memiliki budaya perusahaan. Misalnya, PT Timah memiliki 3 (tiga) dasar pedoman yaitu Solidaritas, Keterbukaan dan Integritas. PT Timah yang awalnya hampir kolaps, dengan menjalankan budaya perusahaan secara konsisten, akhirnya bisa bangkit kembali menjadi perusahaan pertambangan kelas dunia (word class company)
Berbagai perusahaan telah menjalankan nilai-nilai budaya perusahaan yang telah dianutnya dalam aktivitas bisnis sehari-hari, seperti kerja keras, disiplin, integritas, pembelajar dll. Nilai kerja keras merupakan suatu usaha bersungguh-sungguh tanpa melakukan penundaan waktu, artinya pekerjaan yang bisa diselesaikan pada hari ini, akan diselesaikan pada hari ini juga. Selain itu pekerjaan dilakukan dengan berkonsentrasi penuh, sehingga bisa terhindar dari pemborosan (inefisiensi), baik waktu, tenaga, maupun biaya. Kerja keras memerlukan rasa percaya diri yang tinggi sehingga tidak cepat putus asa dan selalu memiliki semangat pantang menyerah. Nilai disiplin tidak hanya ditunjukkan datang tepat waktu atau tidak terlambat, namun juga menepati acara-acara rapat. Disiplin juga memiliki arti menepati janji yang telah disanggupi, menepati kesepakatan bersama, serta dapat dijadikan teladan yang baik. Nilai integritas ini ditunjukkan dari sikap yang secara konsisten menunjukkan kejujuran, kesesuaian antara perkataan dan tindakan serta penuh rasa tanggung jawab terhadap pengelolaan perusahaan. Nilai pembelajar ditunjukkan dari sikap untuk selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta bersedia menjalani pendidikan profesi berkelanjutan (PPL) sesuai bidang masing-masing. Seorang yang termasuk pembelajar biasanya memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, bersedia berbagi pengetahuan (knowledge) dan pengalamannya serta menghargai pemikiran ( ide) baru dan hasil karya yang inovatif.
Hubungan antara GCG dan budaya perusahaan ternyata berbanding lurus. Implementasi GCG di perusahaan dapat berhasil dengan lancar dan sukses apabila didukung dengan internalisasi budaya perusahaan yang baik. Tanpa budaya perusahaan yang kuat dan dijalankan secara konsisten, maka implementasi GCG akan mengalami kesulitan bahkan bisa mengalami kegagalan. Semoga budaya perusahaan dapat benar-benar dipahami dan diaplikasikan oleh karyawan dan pimpinan perusahaan dalam kegiatan bisnis sehari-hari sehingga upaya untuk mewujudkan GCG bukan sekedar slogan namun menjadi kenyataan.***
*) Muh Arief Effendi SE MSi Ak QIA, bekerja sebagai internal auditor sebuah BUMN serta Dosen Luar Biasa di FE Universitas Trisakti, STIE Trisakti & FE Universitas Mercu Buana Jakarta.
( Sumber Internet )

PERANAN KOMITE AUDIT DALAM MENINGKATKAN KINERJA PERUSAHAAN

PERANAN KOMITE AUDIT DALAM MENINGKATKAN KINERJA PERUSAHAAN
(Artikel ini telah dimuat di JURNAL AKUNTANSI PEMERINTAH, Vol. 1 No. 1, Mei 2005, Hlm. 51 - 57, ISSN : 0216-8642 , Jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Lembaga Pengkajian Keuangan Publik dan Akuntansi Pemerintah, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK), Departemen Keuangan R.I.)
Oleh : Muh. Arief Effendi,SE,MSi,Ak,QIA *)
Abstraksi :
Tulisan ini membahas secara singkat perkembangan komite audit di berbagai negara lain (Amerika serikat, Inggris dan Kanada) serta di Indonesia, terutama ditinjau dari aspek historis dan praktek. Tinjauan komite audit di Indonesia mencakup penerapan pada perusahaan – perusahaan publik (termasuk perbankan Indonesia) dan BUMN, selain itu juga membahas masalah efektivitas kerja komite audit.
Kata-kata kunci : Komite Audit, Efektivitas Kerja, Kinerja Perusahaan, BUMN.
A. Pendahuluan
Keberadaan komite audit pada saat ini telah diterima sebagai suatu bagian dari tata kelola organisasi perusahaan yang baik (Good Corporate Governance). Selain itu kehadiran komite audit akhir-akhir ini telah mendapat respon yang positif dari berbagai pihak, antara lain Pemerintah, Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), Bursa Efek Jakarta (BEJ), Bursa Efek Surabaya (BES), Para Investor, Profesi Hukum (Advokat), Profesi Akuntan serta Independent Appraisal.Menurut Arrens & Loebbecke (2000) yang dimaksud dengan Komite Audit adalah sebagai berikut:
An audit committee is a selected number of members of company board of directors whose responsibilities include helping auditors remain independent of management. Most audit committees are made up of three to five or sometimes as many as seven directors who are not part of company management.
Komite audit di Indonesia masih merupakan hal yang relatif baru. Perkembangan komite audit di negara kita , sangat terlambat dibandingkan dengan negara lain. Hal tersebut antara lain disebabkan Pemerintah baru saja menetapkan kebijakan tentang pemberlakuan komite audit pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tertentu pada tahun 1999. Selain itu anjuran dari Bapepam kepada perusahaan yang telah go publik agar memiliki komite audit baru ditetapkan pada tahun 2000. Mengingat pentingnya keberadaan Komite Audit dalam meningkatkan kinerja perusahaan, terutama dari aspek pengendalian, maka Komite Audit perlu mendapatkan perhatian dari manajemen dan Dewan Komisaris serta pihak-pihak terkait yang bertindak sebagai regulator seperti Menteri keuangan, Menteri BUMN, Bapepam, Bursa Efek Jakarta & Bursa Efek Surabaya.
B. Komite Audit di beberapa negara lain
Apabila kita ingin mengetahui lebih jauh tentang sejarah keberadaan Komite Audit, mau tidak mau kita harus melihat perkembangan Komite Audit di negara lain. Berikut ini dijelaskan perkembangan Komite Audit di Amerika Serikat, Inggris dan Kanada sebagai bahan studi perbandingan untuk melihat keberadaan Komite Audit di Indonesia.
1. Komite Audit di Amerika Serikat
Peraturan yang mewajibkan dibentuknya komite audit di Amerika Serikat antara lain Accounting Series Release (ASR) No. 19/1940 dari The Securities Exchange Commission (SEC). Ketentuan tersebut menganjurkan agar perusahaan yang telah masuk Pasar Modal (go publik) memiliki komite audit yang beranggotakan pihak independen dari luar perusahaan.
Menurut studi Korn & Ferry International (1989) ternyata 98 % perusahaan Amerika yang disurveinya telah memiliki komite audit. Di Amerika Serikat eksistensi komite audit selain membawa dampak internal juga membawa dampak eksternal bagi perusahaan. Harga saham perusahaan yang telah memiliki komite auditnya cenderung lebih diminati oleh para investor. Pada saat ini hampir semua perusahaan di Amerika Serikat terdapat komite audit, padahal tidak terdapat satu pun ketentuan hukum yang mengikat bahwa keberadaan tersebut merupakan suatu keharusan (mandatory). Rekomendasi dari kongres di Amerika Serikat, SEC dan AICPA, maupun persyaratan yang ditetapkan oleh New York Stock Exchange bukan sebagai produk hukum (required by law ), karena sifatnya hanya sebatas anjuran saja. Oleh karena itu pengakuan perlunya dibentuk komite audit di perusahaan dapat dapat dipandang sebagai persyaratan mekanisme pasar (required by the market) dalam rangka mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap mekanisme akuntansi, auditing, serta sistem pengendalian yang lain, sehingga unsur-unsur pengendalian tersebut tetap berjalan secara optimal dalam sistem ekonomi pasar.
American Institute Certified of Public Accountants (AICPA) menerbitkan SAS No. 60 dan 61 yang bertujuan untuk menciptakan link antara auditor dengan pemilik, yakni melalui komunikasi antara auditor independen dengan komite audit. Hal penting yang disebutkan dalam standar tersebut , antara lain pengungkapan kelemahan pengendalian internal, adanya perbedaan pendapat dengan manajemen, pengaruh dari kebijakan akuntansi tertentu yang signifikan, serta kendala yang dihadapi dalam melakukan audit.
2. Komite Audit di Inggris (U.K.)
Inggris merupakan negara pelopor dibentuknya komite audit. Komite audit tersebut sudah ada sejak pertengahan abad ke-19. Anggotanya dipilih diantara para pemegang saham (shareholders) yang dipandang memiliki keahlian (kompetensi) dibidang akuntansi dan auditing. Tujuannya sebagai mediator antara para pemegang saham, manajemen serta pihak eksternal perusahaan. The Promotion of Non-Executive Directors (Pro-ned) goup (1982) telah memperbaiki code of practice. Pada tahun 1987 group tersebut merekomendasikan agar perusahaan- perusahaan publik memiliki komite audit yang terdiri dari non-executive director yang bertugas memberikan konsultasi masalah penting tentang audit dan pengendalian.
Institute of Chartered Accountant pada England & Wales Working Party (1986) telah merekomendasikan agar komite audit bertanggungjawab atas pertemuan dan remunerasi auditor independen, menyetujui perencanaan audit (audit plan) dan mereview laporan manajemen (management report) yang dikeluarkan oleh auditor independen.
3. Komite Audit di Kanada
Komite audit pertama kali diperkenalkan oleh Pemerintah Kanada pada tahun 1965. The Canada Business Corporation Act telah melakukan amandemen pada tahun 1975.
Menurut ketentuan ini semua perusahaan publik harus memiliki komite audit yang mereview laporan keuangan tahunan sebelum disampaikan pada Board of Director. The Adams Report (199 merekomendasikan tentang tanggungjawab komite audit. The Canadian Institute of Chartered Accountants (198 mengeluarkan the Macdonald Report (Macdonald Commission) yang antara lain mengemukakan agar semua perusahaan publik harus memiliki komite audit, Komite audit harus melaporkan tentang tanggungjawabnya kepada pemegang saham secara tahunan (annual report) dan Komite audit harus mereview laporan keuangan interim dan tahunan sebelum dipublikasikan. Selain itu ketentuan mengenai perlunya komite audit di Kanada telah dimuat dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas . The Business Corporation Act (1975) telah diberlakukan di Negara Bagian Ontario dan British Columbia.
C. Komite Audit di Indonesia
Perkembangan praktek Komite Audit di Indonesia dapat dibedakan atas 3 (tiga) hal sesuai dengan jenis / karakteristik perusahaan yang ada, seperti Perbankan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Perusahaan Publik.
A. Komite Audit di Perbankan Indonesia
Komite audit yang diwajibkan (diberlakukan) dikalangan perbankan dinamakan Dewan Audit atau Badan Audit. Dewan Audit diatur berdasarkan Surat Keputusan Bank Indonesia No. 27/163/KEP/DIR/1995 tanggal 31 Maret 1995 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 27/8/UPPB/1995 tanggal 31 Maret 1995. Menurut ketentuan tersebut Dewan Audit dalam perbankan memiliki 6 (enam) tanggung jawab sebagai berikut :
· Menyetujui Internal Audit Charter , menanggapi rencana audit intern dan masalah-masalah yang ditemukan oleh Auditor Intern serta menentukan pemeriksaan khusus oleh Satuan Kerja Audit Intern (SKAI) apabila terdapat dugaan terjadinya kecurangan, penyimpangan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.
Mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam hal auditee tidak menindaklanjuti laporan Kepala SKAI.
· Memastikan bahwa laporan-laporan yang disampaikan kepada Bank Indonesia serta Instansi lain yang berkepentingan telah dilakukan dengan benar dan tepat waktu. Selain itu, Bank juga mematuhi ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku.
· Memastikan bahwa manajemen menjamin baik auditor ekstern maupun intern dapat bekerja sama dengan standar auditing yang berlaku.
· Memastikan bahwa manajemen telah menjalankan usahanya sesuai prinsip pengelolaan bank secara sehat.
· Menilai efektivitas pelaksanaan fungsi SKAI.Seperti halnya komite audit di perusahaan,
Dewan Audit di perbankan dapat dipandang sebagai wujud mekanisme pengendalian yang diharapkan dapat mengoptimalkan fungsi pengawasan. Dalam prakteknya Dewan Audit di Perbankan, menurut sinyalemen dari para pengamat ekonomi / perbankan sebagian besar ternyata tidak berjalan dengan efektif. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya Bank-Bank yang dilikuidasi (bangkrut), sehingga terpaksa harus dibekukan usahanya (ditutup). Pada awal terjadinya krisis moneter beberapa waktu yang lalu (1997 – 1999), banyak sekali bank-bank yang masuk kategori Bank Beku Operasi (BBO), Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) serta Bank dalam Likuidasi. Hal tersebut membuktikan bahwa aspek pengendalian di perbankan kita sangat lemah, meskipun telah ada Dewan Audit. Beberapa waktu yang lalu ternyata masih ada Bank yang terpaksa dilikuidasi lagi, misalnya bank Global.
Berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 27/163/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tersebut akhirnya dicabut dan sebagai gantinya Bank Indonesia mengeluarkan peraturan Bank Indonesia No. I/6/PBI/1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan (Compliance Director).
Menurut pendapat penulis, meskipun di perbankan telah ada Direktur Kepatuhan, tidak otomatis dapat menggantikan fungsi Dewan Audit. Direktur kepatuhan tersebut tidak bertanggungjawab kepada Dewan Komisaris perbankan. Selain itu Direktur Kepatuhan hanya terdiri dari 1 (satu) orang sedangkan Dewan Audit Sekurang-kurangnya 3 orang dan salah satunya adalah pihak eksternal bank yang independen terhadap manajemen, kepemilikan dan tidak ada pertentangan kepentingan (conflict of interest). Tidak adanya Dewan Audit di perbankan mengakibatkan beban / tugas komisaris menjadi lebih berat, karena tidak ada pihak independen & ahli dibidangnya yang membantu tugasnya dalam aspek pengendalian / pengawasan perbankan..
B. Komite Audit di Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Ketentuan tentang komite audit telah diatur dengan Undang Undang No. 19 tahun 2003 tanggal 19 Juni 2003 tentang BUMN, antara lain pada pasal 70 disebutkan bahwa Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN wajib membentuk komite audit yang bekerja secara kolektif dan berfungsi membantu Komisaris dan Dewan Pengawas dalam melaksanakan tugasnya. Komite audit tersebut dipimpin oleh seorang ketua yang bertanggungjawab kepada Komisaris atau Dewan Pengawas. Keterangan lebih rinci tentang komite audit telah diatur melalui Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. 103 tahun 2002, yang merupakan revisi terhadap Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN Nomor : KEP-133/M-PBUMN/1999 tanggal 8 Maret 1999 tentang pembentukan komite audit bagi BUMN.
Selain itu berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No. KEP-117/M-MBU/2002 tentang penerapan praktek Good Corporate Governance pada BUMN terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang Komite Audit, yaitu :
1. Pada pasal 14 ayat 1, antara lain disebutkan bahwa Komisaris / Dewan Pengawas harus membentuk Komite Audit yang bekerja secara kolektif dan berfungsi membantu Komisaris / Dewan Pengawas dalam melaksanakan tugasnya yaitu :
a. BUMN yang mempunyai kegiatan usaha dibidang Asuransi dan Jasa Keuangan lainnya.
b. BUMN yang menjadi PT. Terbuka.
c. BUMN yang berada dalam persiapan privatisasi.
d. BUMN yang assetnya bernilai sekurang-kurangnya Rp. 1.000.000.000.000,- (satu triliun rupiah).
Pada BUMN selain yang dimaksudkan dalam ayat 1 tersebut, Komisaris / Dewan Pengawas dapat membentuk Komite Audit yang bekerja secara kolektif dan berfungsi membantu Komisaris / Dewan Pengawas dalam melaksanakan tugasnya. Adapun pada ayat 5, disebutkan bahwa komite audit bertugas membantu Komisaris / Dewan Pengawas dalam memastikan efektivitas sistem pengendalian intern dan efektivitas pelaksanaan tugas external auditor dan internal auditor.
2. Pada pasal 22 ayat 2 butir e, juga disebutkan bahwa monitoring yang merupakan salah satu bagian dari sistem pengendalian internal adalah proses penilaian terhadap kualitas sistem pengendalian internal termasuk fungsi internal audit pada setiap tingkat dan unit struktur organisasi BUMN, sehingga dapat dilaksanakan secara optimal, dengan ketentuan bahwa penyimpangan yang terjadi dilaporkan kepada Direksi dan tembusannya disampaikan kepada Komite Audit.
3. Pada pasal 25, pasa 1 dan 2 disebutkan eksternal auditor harus ditunjuk oleh RUPS / Pemilik Modal dari calon yang diajukan oleh Komisaris / Dewan Pengawas berdasarkan usul Komite Audit. Komite Audit melalui Komisaris / Dewan Pengawas wajib menyampaikan kepada RUPS / Pemilik Modal alasan pencalonan tersebut dan besarnya honorarium / imbal jasa yang diusulkan untuk external auditor tersebut.
4. Pada pasal 26, Komisaris / Dewan Pengawas dan Direksi harus memastikan bahwa external auditor maupun internal auditor dan Komite Audit memiliki akses terhadap informasi mengenai BUMN yang perlu untuk melaksanakan tugasnya.
Komite audit dapat berfungsi membantu kelancaran tugas komisaris, antara lain komite audit melakukan penelaahan terhadap kebenaran informasi yang disampaikan oleh direksi kepada komisaris Selain itu komite audit juga dapat berfungsi menilai efektivitas pengendalian internal (internal control), termasuk fungsi Internal Auditor atau Satuan Pengawasan Intern (SPI), sehingga dapat memberikan rekomendasi tentang peningkatan efektivitas internal auditor untuk meningkatkan sistem pengendalian internal perusahaan. Komite Audit di BUMN dapat berperan lebih aktif apabila ternyata eksistensi internal auditor di BUMN kurang berfungsi sebagaimana mestinya. Komite audit juga dapat melakukan sinergi dengan internal auditor, misalnya melakukan joint audit untuk aspek-aspek strategis yang memerlukan pendalaman audit lebih lanjut.
Pada saat ini beberapa BUMN telah membentuk komite audit, terutama untuk BUMN yang telah go publik. BUMN yang assetnya melebihi 1 triliun sebagian telah membentuk komite audit dan sebagian dalam proses pembentukan komite audit. Berdasarkan hasil penelitian penulis tahun 1999 tentang Persepsi Dewan Komisaris & Direksi BUMN dalam pembentukan komite audit, ternyata masih terdapat beberapa komisaris maupun Direksi BUMN yang belum mengetahui arti pentingnya keberadaan komite audit. Hal tersebut dimungkinkan karena pada saat itu komite audit baru ditetapkan oleh Menteri BUMN. Pada saat ini seharusnya para Komisaris maupun Direksi BUMN telah mengetahui pentingnya keberadaan komite audit tersebut, karena adanya komite audit yang efektif merupakan salah satu aspek implementasi Good Corporate Governance.
C. Komite Audit di Perusahaan Publik
Berdasarkan Surat Edaran dari Direksi PT. Bursa Efek Jakarta No. SE-008/BEJ/12-2001 tanggal 7 Desember 2001 perihal keanggotaan komite audit, disebutkan bahwa :
Jumlah anggota Komite Audit sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang, termasuk Ketua Komite audit.
Anggota Komite Audit yang berasal dari komisaris hanya sebanyak 1 (satu) orang. Anggota Komite Audit yang berasal dari komisaris tersebut harus merupakan Komisaris Independen Perusahaan Tercatat yang sekaligus menjadi Ketua Komite audit.
Anggota lainnya dari Komite Audit adalah berasal dari pihak eksternal yang independen. Yang dimaksud pihak eksternal adalah pihak diluar Perusahaan Tercatat yang bukan merupakan komisaris, direksi dan karyawan Perusahaan Tercatat, sedangkan yang diamksud independen adalah pihak diluar Perusahaan Tercatat yang tidak memiliki hubungan usaha dan hubungan afiliasi dengan Perusahaan Tercatat, komisaris , direksi dan Pemegang Saham Utama Perusahaan Tercatat dan mampu memberikan pendapat profesional secara bebas sesuai dengan etika profesionalnya, tidak memihak kepada kepentingan siapapun.
Kepercayaan atas independensi sikap Komite Audit adalah sangat penting. Untuk diakui sebagai pihak independen, anggota Komite Audit harus bebas dari setiap kewajiban kepada Perusahaan Tercatat dan tidak memiliki suatu kepentingan tertentu terhadap Perusahaan Tercatat atau Direksi atau Komisaris Perusahaan Tercatat dan bebas dari keadaan yang dapat menyebabkan pihak lain meragukan sikap independensinya.Ketentuan mengenai komite audit juga diatur dalam Surat Edaran Bapepam Nomor SE-03/PM/2000 tertanggal 05 Mei 2000 dan Keputusan Direksi Bursa Efek Jakarta (BEJ) Nomor Kep-315/BEJ/06/2000 sebagai berikut antara lain diatur sebagai berikut :
1. Keanggotaan komite audit sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang anggota, seorang diantaranya merupakan komisaris independen Perusahaan Tercatat yang sekaligus merangkap sebagai ketua komite audit, sedangkan anggota lainnya merupakan pihak ekstern yang independen dimana sekurang-kurangnya satu diantaranya memiliki kemampuan dibidang akuntansi dan atau keuangan. Anggota komite audit diangkat dan diberhentikan oleh Dewan Komisaris.
2. Komite audit bertugas untuk memberikan pendapat profesional yang independen kepada dewan komisaris terhadap laporan atau hal-hal yang disampaikan oleh direksi kepada dewan komisaris serta mengidentifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian dewan komisaris, yang antara lain meliputi :
a. melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang akan dikeluarkan oleh perusahaan seperti, laporan keuangan, proyeksi dan informasi keuangan lainnya,
b. menelaah independensi dan objektifitas akuntan publik,
c. melakukan penelaahan atas kecukupan pemeriksaan yang dilakukan oleh akuntan publik untuk memastikan semua resiko yang penting telah dipertimbangkan,
d. melakukan penelaahan atas efektivitas pengendalian internal perusahaan,e. menelaah tingkat kepatuhan Perusahaan Tercatat terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal dan peraturan perundangan lainnya yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan,f. melakukan pemeriksaan terhadap dugaan adanya kesalahan dalam keputusan rapat direksi. Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan oleh komite audit atas biaya Perusahaan Tercatat yang bersangkutan.Keberadaan komite audit di perusahaan publik menurut hasil pengamatan penulis sebagian besar hanya sekedar memenuhi tuntutan regulator (Bapepam & BEJ). Hal tersebut dapat diketahui bahwa yang ditunjuk sebagai anggota komite audit di perusahaan publik banyak yang belum memenuhi kualitas & kompetensi seperti yang diharapkan. Oleh karena itu pihak regulator, Bapepam & BEJ perlu melakukan monitoring secara periodic eksistensi & efektivitas komite audit di perusahaan publik.
D. Efektivitas Komite Audit
Komite audit pada saat ini telah diakui keberadaannya di hampir semua perusahaan di negara maju, terutama di Amerika Serikat, Inggris dan Kanada, namun hingga saat ini belum ada kesepakatan mengenai tolok ukur keberhasilan atau efektivitas komite audit. Belum terdapat hasil pembuktian secara empiris mengenai hal tersebut, namun Sommer (1991) berpandangan bahwa komite audit di banyak perusahaan masih belum melakukan tugasnya dengan baik. Menurut pendapat Sommer, banyak komite audit yang hanya sekedar melakukan tugas-tugas rutin, seperti review laporan dan seleksi auditor eksternal, dan tidak mempertanyakan secara kritis dan menganalisis secara mendalam kondisi pengendalian dan pelaksanaan tanggungjawab oleh manajemen. Penyebabnya diduga bukan saja karena banyak dari mereka tidak memiliki kompetensi dan independensi yang memadai, tetapi juga karena banyak yang belum memahami peran pokoknya (Manao, 1997).Kalbers & Fogarty (1993) telah melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas komite audit. Hasil penelitian yang dimuat di Auditing A Journal of Practice & Theory berjudul “Audit Committee Effectiveness : An Empirical Investigation of the Contribution of Power”, antara lain mengungkapkan bahwa terdapat 3 (tiga) faktor yang dominan yang berpengaruh terhadap keberhasilan komite audit dalam menjalankan tugasnya, yaitu :
1. Kewenangan formal dan tertulis bagi komite audit.
2. Kerjasama manajemen.
3. Kualitas (kompetensi) personil dari komite audit.
Salah satu aspek yang cukup penting dalam keberhasilan komite audit dalam menjalankan tugasnya adalah masalah komunikasi. Oleh karena itu komite audit harus meningkatkan komunikasi dengan dewan Komisaris, manajemen, internal auditor dan eksternal auditor. Adanya komunikasi yang lancar antara komite audit dengan berbagai pihak tersebut dapat menunjukkan eksistensi komite audit lebih efektif dan dapat meringankan tugas komisaris dalam mengawasi jalannya perusahaan. H.
Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
a. Keberadaan Komite Audit sangat penting dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan, terutama dari aspek pengendalian. Pada saat ini adanya Komite Audit yang efektif merupakan salah satu aspek dalam implementasi Good Corporate Governance.
b. Perkembangan Komite Audit di Indonesia sangat lamban apabila dibandingkan dengan di beberapa negara lain, seperti di Amerika Serikat, Inggeris dan Kanada. Hal ini karena ketentuan (regulasi) yang mengatur tentang Komite Audit oleh Bapepam, BEJ dan Kantor Menteri BUMN relatif masih baru.
c. Keberadaan Komite Audit di Perbankan, BUMN maupun Perusahaan Publik, pada saat ini belum efektif seperti yang diharapkan berbagai pihak.
2. Saran
a. Agar Pemerintah termasuk Kementerian BUMN dan Menteri Keuangan menganjurkan pada BUMN tertentu untuk membentuk komite audit sebagai implementasi Good Corporate Governance.
b. Agar Bapepam , BEJ & BES mengharuskan Perusahaan Publik untuk membentuk Komite Audit serta melakukan monitoring secara periodik untuk mencegah adanya komite audit hanya sekedar memenuhi tuntutan regulator.
c. Agar Bank Indonesia mengkaji kembali perlu tidaknya dibentuk Dewan Audit / komite Audit di perbankan dengan memperhatikan aspek pengendalian intern sebagai implementasi pengawasan di perbankan.
d. Agar keberadaan Komite Audit audit di Perusahaan Publik, Perbankan maupun BUMN dapat berjalan secara efektif, hendaknya anggota Komite Audit dipilih orang yang independen yang berasal dari luar perusahaan sehingga tidak ada conflict of interest dengan perusahaan. Selain itu hendaknya aspek kapabilitas serta integritas menjadi acuan utama dalam memilih anggota Komite Audit.***
Daftar Pustaka
1. Baridwan, Zaki : “Peran dan Fungsi Komisaris Independen dan Komite Audit”, makalah seminar Konvensi Nasional Akuntansi IV, Jakarta, 6-7 September 2000.
2. Eddie M. Gunadi & Toto J. Alamsyah : “Direktur Kepatuhan : Gantikan Fungsi Dewan Audit”, Media Akuntansi, No.5 Tahun I, Desember 1999 – Januari 2000.
3. Effendi, M. Arief :”Persepsi Dewan Komisaris & Direksi Badan Usaha Milik Negara terhadap pembentukan Komite Audit”, thesis, Program Magister Akuntansi (MAKSI), Universitas Indonesia, 2001.
4. Effendi, M. Arief : “Komunikasi Komite Audit : Antara Harapan dan Kenyataan”, Majalah Media Akuntansi, Jakarta, Edisi Juli – Agustus 2002.
5. Herwidayatmo : “Peran dan Fungsi Komisaris Independen dan Komite Audit”, Simposium Nasional Akuntansi II dan Konvensi Nasional Akuntansi IV, Jakarta, 7 September 2000.
6. Kalbers, Lawrence P. & Forgathy, Timothy J. : “Audit Committee Effectiveness : An Empirical Investigation of the Contribution of Power”, Auditing A Journal of Practice & Theory, Vol. 12, No. 1, Spring, 1993.
7. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN Nomor : KEP-102/M-PBUMN/2002 tanggal 31 Juli 2002 tentang pembentukan komite audit bagi BUMN.
8. Manao, Hekinus : “ Efektivitas Komite Audit Perusahaan Peranan Independensi dan Kompetensi “, makalah Seminar Pengembangan Audit Committee di lingkungan Perusahaan di Indonesia Menghadapi Era Globalisasi, FKSPI BUMN/BUMD & IIA Indonesian Chapter, Jakarta, 5 Maret 1997.
9. Manao, Hekinus : “Peranan Komite Audit dalam Pengelolaan Perusahaan : Ulasan Historis, Teori, Praktik dan Perspektif”, Profesi Akuntan Indonesia Menuju Milenium Baru, Prosiding KNA Ke-3 , Ikatan Akuntan Indonesia, 1996.
10. The Institute of Internal Auditors Research Foundation : Improving Audit Committee Performance : What Works Best, A Research Report prepared by Price Waterhouse, First printing, 1993.
*) Muh. Arief Effendi, SE, MSi, Ak, QIA adalah Senior Auditor Operasional PT. Krakatau Steel serta Staf Pengajar beberapa perguruan tinggi di Jakarta.
( Sumber Internet)

SEKILAS INFO RESTRUKTURISASI & PRIVATISASI BUMN

SEKILAS INFO RESTRUKTURISASI & PRIVATISASI BUMN
Oleh : M. Arief Effendi (SPI PT. KS)(Artikel ini telah dimuat di Buletin KS /BKS, edisi September 2000, pada rubrik “BUMN”, hlm 30-32)
PENDAHULUAN
Kondisi perekonomian nasional yang saat ini masih belum pulih akibat terjadinya krisis moneter berkepanjangan menyebabkan kalangan dunia usaha belum bisa bangkit seperti sedia kala. Bahkan banyak perusahaan yang terpaksa ditutup / dilikuidasi karena kelangsungan usahanya tidak dapat dipertahankan. Hal tersebut mengimbas pula terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Jumlah BUMN dibawah pembinaan Menteri Keuangan & Pemberdayaan (d/h Meneg PM&PBUMN) pada tahun 1998 secara keseluruhan apabila dihitung dengan anak perusahaan dan cucu BUMN bisa mencapai 1000 perusahaan. Total asset yang dikelola BUMN sekitar Rp. 500 triliun (akhir tahun 1999) dan bergerak hampir di seluruh bidang aktivitas ekonomi.Mengingat BUMN memegang peranan yang penting dan turut mempengaruhi kinerja perekonomian nasional, maka BUMN perlu dikelola dengan efektif dan efisien berdasarkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG)., yaitu Transparansi (Transparency), Pengungkapan (Disclosure) atau Fairness, Akuntabilitas (Accountability) dan Legalitas (Legality). Untuk menuju program restrukturisasi dan privatisasi BUMN diperlukan terbentuknya corporate governance.
Perkembangan tingkat kesehatan BUMN dari tahun 1995 – 1998 sebagai berikut :


TINGKAT KESEHATAN
1995
1996
1997
1998
JML
%
JML
%
JML
%
JML
%
Sehat Sekali
49
27,5
48
28,9
41
25,2
-
-
Sehat
29
16,3
33
19,9
33
20,8
89
69,5
Kurang Sehat
31
17,4
30
18,1
29
18,2
15
11,7
Tidak Sehat
69
38,8
55
33,1
57
35,8
24
18,8
T O T A L
178
100
166
100
160
100
128
100

Sumber : Kantor Meneg PM & PBUMN.

Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa secara umum kinerja BUMN masih di bawah standar, bahkan pada tahun 1997 terdapat 54 % BUMN yang termasuk kategori kurang dan tidak sehat. Pada tahun 1998 BUMN yang berada dalam kondisi kurang sehat dan tidak sehat masih 30,5 % (SK Menkeu No. 198/1998 tanggal 24 Maret 1998, penggolongan penilaian tingkat kesehatan BUMN menjadi 3 kategori : sehat, kurang sehat dan tidak sehat).

Mengingat banyak BUMN yang kinerjanya kurang baik, maka BUMN perlu diberdayakan secara optimal. Tujuan dari pemberdayaan BUMN tantara lain :
Agar mampu berperan sebagai pendukung bangkitnya perekonomian nasional serta dapat memberikan kontribusi kepada APBN (dividen dan pajak).
Agar mampu berperan sebagai sarana dan prasarana untuk mencetak Sumber Daya Manusia yang unggul terutama dalam kepemimpinan dunia usaha.
Agar mampu berperan sebagai kekuatan penyeimbang (conterveiling power) terhadap kekuatan ekonomi yang telah ada, melalui aliansi strategis dengan pihak lain pada tingkat nasional maupun internasional, termasuk dalam rangka kemitraan dengan Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi.
Agar dapat mendayagunakan asset yang dikelola secara optimal, antara lain melalui program restrukturisasi dan privatisasi secara transparan dan simultan.

RESTRUKTURISASI

Restrukturisasi perusahaan (corporate restructuring) adalah upaya peningkatan kesehatan perusahaan dan pengembangan kinerja usaha melalui sistem baku yang biasa berlaku dalam dunia korporasi. Restrukturisasi BUMN perlu dilakukan dengan tujuan antara lain :
Mengubah kontrol pemerintah terhadap BUMN yang semula secara langsung (control by process) menjadi kontrol berdasarkan hasil (control by result). Pengontrolan atas BUMN tidak perlu lagi melalui berbagai formalitas aturan, petunjuk, perijinan dan lain-lain, akan tetapi melalui penentuan target-target kualitatif dan kuantitatif yang harus dicapai oleh manajemen BUMN, seperti ROE (Return On Asset), ROI (Return On Investment) tertentu dan lain-lain.
Memberdayakan manajemen BUMN (empowerment) melalui peningkatan profesionalisme pada jajaran Direksi dan Dewan Komisaris.
Melakukan reorganisasi untuk menata kembali kedudukan dan fungsi BUMN dalam rangka menghadapi era globalisasi (AFTA, NAFTA, WTO) melalui proses penyehatan , konsolidasi, penggabungan (merger), pemisahan, likuidasi dan pembentukan holding company secara selektif.
Mengkaji berbagai aspek yang terkait dengan kinerja BUMN, antara lain penerapan sistem manajemen korporasi yang seragam (tetap memperhatikan ciri-ciri spesifik masing-masing BUMN), pengkajian ulang atas sistem penggajian (remunerasi), penghargaan dan sanksi (reward & punishment).

Alternatif Pilihan Restrukturisasi
Portfolio Restructuring
Langkah-langkah yang dapat dilakukan antara lain :
Identifikasi SBU dengan product /market mix.
Evaluasi business attractiveness / competitiveness.
Evaluasi ketergantungan (interdependence) antar SBU.
Identifikasi core competence dari perusahaan.
Organization Restructuring
Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam restrukturisasi organisaasi, antara lain :
Mencari metode perubahan dalam bisnis yang sedang dijalankan.
Memperbaiki komunikasi internal.
Menciptakan pertanggungjawaban dan akuntabilitas untuk semua posisi jabatan.
Streamline labor cost / optimize efficiency
Operational Restructuring
Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam restrukturisasi operasional :
Melakukan diagnosa terhadap kapabilitas internal.
Mengimplementasikan perubahan dalam operasional perusahaan, termasuk dalam product mix, distribution, production process, quality control, management information system.
Apapun yang dilaksanakan dalam operasional harus sejalan dengan strategi perusahaan.
Financial Restructuring
Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam restrukturisasi keuangan :
Melakukan efisiensi dalam pengelolaan cash flow perusahaan.
Mengeluarkan (disposal) non core & inefficient asset.
Retrukturisasi, repay dan refinance hutang.
Identifikasi investor potensial.

Selain itu, salah satu program yang cukup penting dalam rangka meningkatkan kinerja BUMN adalah profitability development (profitisasi). Sebaiknya dalam pelaksanaan program restrukturisasi, BUMN hendaknya diarahkan pula kepada profitisasi, sebelum akhirnya dilakukan proses privatisasi.

PRIVATISASI

Pada hakekatnya privatisasi adalah melepas kontrol monopolistik Pemerintah atas BUMN. Akibat kontrol monopolistik Pemerintah atas BUMN menimbulkan distorsi antara lain, pola pengelolaan BUMN menjadi sama seperti birokrasi Pemerintah, terdapat conflict of interest antara fungsi Pemerintah sebagai regulator dan penyelenggara bisnis serta BUMN menjadi lahan subur tumbuhnya berbagai praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan cenderung tidak transparan. Fakta membuktikan bahwa praktek KKN tidak ada (jarang ditemukan) pada BUMN yang telah menjadi perusahaan terbuka (go public).

1. Diagnosis Peta Pengusahaan BUMN

Sebelum privatisasi BUMN dilaksanakan, perlu dilakukan diagnosis struktur pengusahaannya. Dilihat dari aspek variabel mikro (tingkat keuntungan) dan variable makro (aspek strategis), maka BUMN dapat diklasifikasikan pada 4 posisi kuadran sebagai berikut :

Variabel Mikro (Tingkat Keuntungan=TK)
Tinggi Rendah

I

II
Tinggi

Variabel Makro
III

IV

Rendah
(Nilai Strategis=NS)

Apabila telah diketahui posisi suatu BUMN, maka akan memudahkan tindak lanjut yang diperlukan dalam proses privatisasi tersebut :

NO.
KUA-
DRAN
URAIAN
TUJUAN PRIVATISASI
1
I
TK Tinggi
NS Tinggi
· Mendapatkan dana segar (fresh money).
· Meningkatkan kinerja.
2
II
TK Rendah
NS Tinggi
· Meningkatkan kinerja keuangan.
· Peningkatan manajemen operasional.
3
III
TK Tinggi
NS Rendah
· Kebutuhan dana segar (fresh money).
· Fokus.
4
IV
TK Rendah
NS Rendah
· Kebutuhan dana segar (fresh money).
· Fokus.

2. Manfaat Privatisasi
BUMN akan menjadi lebih transparan, sehingga dapat mengurangi praktek KKN.
Manajemen BUMN menjadi lebih independen, termasuk bebas dari intervensi birokrasi.
BUMN akan memperoleh akses pemasaran ke pasar global, selain pasar domestik.
BUMN akan memperoleh modal ekuitas baru berupa fresh money sehingga pengembangan usaha menjadi lebih cepat.
BUMN akan memperoleh transfer of technology, terutama teknologi proses produksi.
Terjadi transformasi corporate culture dari budaya birokratis yang lamban, menjadi budaya korporasi yang lincah.
Mengurangi defisit APBN, karena dana yang masuk sebagian untuk menambah kas APBN.
BUMN akan mengalami peningkatan kinerja operasional / keuangan, karena pengelolaan perusahaan lebih efisien.

3. Metode Privatisasi
Initial Public Offering (IPO) atau Share Flotation
Penjualan saham suatu perusahaan melalui pasar modal, apabila hal tersebut dilakukan untuk pertama kali maka disebut penawaran umum perdana (IPO) tau go publik. Metode IPO akan memberikan tambahan manfaat, antara lain mendukung kepemilikan saham BUMN kepada masyarakat luas, meningkatkan kapitalisasi pasar di Bursa Efek dan memungkinkan profesi pendukung pasar modal untuk berkembang, seperti profesi akuntan, notaris, appraisal company, penjamin emisi, pialang dan lain-lain.
Direct / Trade Sale /Strategic Sale (Penjualan Langsung).
Penjualan saham perusahaan kepada mitra strategis atau investor finansial dengan cara tender dan negosiasi.
Management & Employee By OUT (M/EBO)
MBO merupakan pembelian saham mayoritas oleh suatu konsorsium yang diorganisasi dan dipimpin oleh manajemen yang ada. EBO adalah skema yang memungkinkan karyawan perusahaan untuk ikut memiliki saham perusahaan tempat mereka bekerj atau biasa disebut Employee Share Ownership Plan (ESOP).
Management Contract (Joint Operation)
Menyerahkan pengelolaan asset dalam waktu tertentu dengan fee yang ditetapkan berdasarkan kinerja.
Liquidation
Likuidasi adalah menutup perusahaan dengan menjual perusahaan sebagai usaha yang going concern atau menjual asset-assetnya.

Pemilihan metode privatisasi untuk masing-masing BUMN memerlukan kajian secara mendalam dengan memperhatikan kebijakan dan sasaran privatisasi secara nasional, strategi, kinerja dan kebutuhan perusahaan yang diprivatisasi serta kelayakan pasar modal dan tingkat ketertarikan investor terhadap perusahaan yang diprivatisasi.

World Institute for Development Economics Research (WIDER) telah melakukan kajian terhadap proses privatisasi perusahaan di kawasan Eropa Tengah, Eropa Timur dan negara Eks Uni Sovyet. Hasil kajian WIDER tersebut menunjukkan bahwa privatisasi melalui penjualan saham kepada pihak luar dibandingkan dengan metode-metode lain, dapat memberikan dampak positif yang signifikan terhadap pengelolaan korporasi yang lebih baik, akses yang lebih baik terhadap modal dan penguasaan teknologi dan memberikan penerimaan kepada Pemerintah. Berbagai kajian dan pengalaman privatisasi di berbagai negara juga menunjukkan bahwa IPO adalah metode yang terbaik untuk privatisasi apabila kondisi pasar modal memungkinkan.

4. Kunci keberhasilan (Key Success Factor) Privatisasi
Aspek makro, berupa kondisi internasional dan regional (ASEAN) dan kondisi Indonesia yang berkaitan dengan indikator ekonomi, politik, kepastian hukum dan moneter.
Aspek fundamental perusahaan, berupa status usaha, struktur dan pertumbuhan pasar, struktur pendapatan dan historis perusahaan.
Market expectation yang meliputi Capital Gain dan Earning per Share yang akan diperoleh.

5. Kendala yang Muncul dalam Proses Privatisasi.
Kekurangjelasan struktur pasar dan regulasi.
Investor potensial biasanya menginginkan kejelasan tentang deregulasi tarif, formulasi tarif yang transparan serta tingkat kompetisi di masa mendatang.
Kekurangtransparan dalam Proses tender.
Metode penentuan pemenang tender pada umumnya lebih menitikberatkan pada bobot yang bersifat non kuantitatif, misalnya rencana bisnis dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Oleh karena itu, penentuan pemenang tender dengan komponen non kuantitatif yang lebih besar tersebut menjadi relatif lebih sulit untuk dapat dipertanggungjawabkan dibandingkan penentuan yang hanya mempertimbangkan faktor harga semata-mata.
Keterlibatan BUMN yang berlebihan dalam proses privatisasi
Hal tersebut akan menimbulkan berbagai benturan kepentingan (conflict of interest), sebab BUMN yang bersangkutan pada umumnya cenderung untuk mencegah persaingan yang lebih kompetitif di pasar atau mencegah penurunan kepemilikan silang pada perusahaan pesaing di pasar.

PENUTUP
Untuk meningkatkan kinerja BUMN secara optimal, program restrukturisasi dan privatisasi BUMN perlu dilaksanakan secara tepat dan transparan. Program tersebut dapat berjalan dengan baik, apabila prinsip good corporate governance telah terbentuk pada masing-masing BUMN. PT. Krakatau Steel (KS) beberapa waktu yang lalu telah melaksanakan program restrukturisasi dan secara terus menerus mengupayakan profitisasi dengan cara meningkatkan kinerja perusahaan melalui prinsip efisiensi dan efektivitas di segala bidang. Dalam rangka menyongsong program privatisasi (go publik) PT. KS yang akan berlangsung dalam waktu dekat, maka perlu dilakukan kajian yang tepat serta persiapan yang matang, baik aspek teknis maupun non teknis, agar dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan yang diharapkan. Selain itu, perlu dipilih waktu privatisasi (timing) yang tepat, khususnya perlu dipertimbangkan kondisi perekonomian nasional dan internasional. Akhirnya meminjam motto SKKS, Semoga PT. KS semakin Jaya dan karyawan semakin Sejahtera.

Referensi :
1. PricewaterhouseCoopers (PwC),”Introduction to Restructuring and Privatization”, handout Restructuring and Privatization Course, Ministry of State- Owned Enterprises – PwC, Jakarta, October 18-20, 1999.
2. Riset Bisnis Indonesia (RBI Research), “Profile of Indonesian State-Owned Enterprises : Professionalism to Go Global”, Jakarta, 1998.

CATATAN :
BUMN saat ini (tahun 200 dibawah pembinaan Kementerian BUMN, pada saat itu BUMN dibawah pembinaan Menteri Keuangan & Pemberdayaan BUMN .
Menurut penulis, artikel diatas pada saat ini masih cukup relevan, mengingat banyak BUMN (termasuk PT. KS) sedang dalam proses privatisasi.
SKKS = Serikat Karyawan Krakatau Steel
( Sumber Internet)

KOMISARIS INDEPENDEN BUKAN SEKADAR PELENGKAP

KOMISARIS INDEPENDEN BUKAN SEKADAR PELENGKAP
(Artikel ini telah dimuat di Harian BISNIS INDONESIA, Edisi Jum’at, 6 Juni 2008, pada Rubrik ”OPINI”, hlm. 7)
Oleh : Muh. Arief Effendi

Dewasa ini eksistensi komisaris independen di perusahaan publik sudah merupakan kebutuhan. Peran komisaris independen sangat signifikan dalam rangka mewakili kepentingan pemegang saham minoritas (minority interest) yang dimiliki oleh publik.
Komisaris independen memang masih relatif baru, mengingat regulasi yang mengatur eksistensi komisaris independen ditetapkan belum lama. Komisaris independen yang kapabel dan efektif di perusahaan publik merupakan salah satu pendorong implementasi Good Corporate Governance (GCG).
Sebelum diberlakukan ketentuan tentang komisaris independen, tidak ada pihak yang bertanggungjawab yang mewakili pemegang saham minoritas dalam forum Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) maupun rapat Direksi (Board of Directors) & komisaris (Board of Commissioner) perusahaan publik

PT. Bursa Efek Indonesia (BEI) telah mewajibkan adanya komisaris independen didalam kepengurusan emiten untuk mewakili pemegang saham minoritas tersebut. BEI telah mengatur tentang rasio komisaris independen yaitu komisaris independen jumlahnya secara proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh yang bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah komisaris independen sekurang kurangnya 30% (tigapuluh persen) dari seluruh jumlah anggota komisaris.
Beberapa persyaratan bagi komisaris independen antara lain melarang adanya hubungan terafiliasi baik dengan pemegang saham pengendali, direktur atau komisaris lainnya, bekerja rangkap dengan perusahaan terafiliasi dan memahami peraturan per-undang- undangan di bidang Pasar Modal. Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi komisaris independen dapat menjadi penyeimbang dalam pengawasan perusahaan publik.
Selain itu, Komite Nasional Good Corporate Governance (KNGCG) juga telah mengeluarkan pedoman tentang komisaris independen yang ada di perusahaan publik. Pada prisipnya, komisaris bertanggung jawab dan berwenang untuk mengawasi kebijakan dan tindakan direksi, dan memberikan nasehat kepada direksi jika diperlukan. Untuk membantu komisaris dalam menjalankan tugasnya, berdasarkan prosedur yang ditetapkan sendiri, maka seorang komisaris dapat meminta nasehat dari pihak ketiga dan atau membentuk komite khusus. Setiap anggota komisaris harus berwatak amanah dan mempunyai pengalaman dan kecakapan yang diperlukan untuk menjalankan tugasnya. Indonesian Society of Independent Commissioner (ISICOM) atau Paguyuban Komisaris Independen Indonesia beberapa waktu yang lalu telah meluncurkan Pedoman Komisaris Independen dan diharapkan dapat menjadi acuan bagi para Komisaris Independen di BUMN maupun perusahaan publik.
Berdasarkan informasi pihak otoritas Bursa sampai dengan awal tahun 2008 dari 272 perusahaan tercatat, ternyata baru 86% (240 emiten) yang telah memiliki komisaris independen dan sisanya masih terdapat 32 (14%) emiten belum memiliki komisaris Independen . Bank Indonesia (BI) telah melakukan uji coba penerapan GCG pada periode September 2007 terhadap 101 bank di Indonesia (termasuk kantor cabang bank asing) ternyata hasilnya hanya 30,7% yang memenuhi ketentuan lima pasal utama. Salah satu penyebab belum terpenuhinya GCG, adalah sebanyak 53,5% bank ternyata belum memiliki komisaris independen.
Intervensi
Komisaris independen memegang peran yang cukup signifikan, sebab dalam diri komisaris independen melekat tanggung jawab secara hukum (aspek yuridis). Menurut pengamatan penulis, dalam praktek di berbagai perusahaan di Indonesia, ternyata terdapat kecenderungan komisaris seringkali melakukan intervensi kepada direksi dalam menjalankan tugasnya. Di pihak lain biasanya kedudukan direksi terlalu kuat, bahkan terdapat beberapa direksi perusahaan publik yang enggan membagi wewenang, serta tidak memberikan informasi yang cukup kepada komisaris, terutama komisaris independen.
Selain itu, terdapat kendala yang cukup menghambat kinerja komisaris independen karena sebagian komisaris independen masih lemah kompetensi dan integritasnya. Hal ini dapat terjadi karena pengangkatan komisaris independen sebagian hanya didasarkan atas penghargaan semata, adanya hubungan keluarga (family) atau kenalan dekat (nepotisme). Seperti diketahui, masalah independensi (independency) dan kapabilitas (capability) komisaris independen merupakan hal yang sifatnya sangat fundamental. Oleh karena itu persyaratan untuk dapat diangkat sebagai komisaris independen seharusnya sangat ketat, antara lain memiliki integritas dan kompetensi yang memadai. Pihak otoritas bursa dan Bapepam-LK agar memonitor dan mengawasi secara periodik kinerja komisaris independen di perusahaan publik.
Eksistensi komisaris independen di perusahaan publik termasuk perbankan seharusnya bukan hanya sekedar pelengkap saja, tetapi diharapkan sebagai wujud implementasi GCG. Mengingat pentingnya peran komisaris independen dalam mewujudkan GCG, seharusnya pihak otoritas bursa dan BI memberikan sanksi yang tegas kepada perusahaan / bank yang belum mengangkat komisaris independen sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini penting, agar perusahaan publik termasuk perbankan tidak hanya memenuhi kepentingan pihak pemegang saham mayoritas saja.
Semoga eksistensi komisaris independen di perusahaan publik dapat berjalan secara efektif, sehingga diharapkan minat dan kepercayaan para investor (domestik dan asing) untuk menanamkan modalnya di Indonesia semakin meningkat. ***
*) Muh. Arief Effendi, Dosen Luar Biasa FE Universtas Mercu Buana, STIE Trisakti, FE Universitas Trisakti, dan Program MAKSI Universitas Budi Luhur.
(sumber Internet )

CYBER CRIME : LANGKAH PENGAMANAN DAN AUDIT

CYBER CRIME : LANGKAH PENGAMANAN DAN AUDIT

(Artikel ini telah dimuat di Majalah TEKNOPRENEUR, Edisi 18, Mei 2008, pada Rubrik ”GAGAS”, hlm 67, ISSN : 1907-9494)

Oleh : Muh. Arief Effendi *)


Dewasa ini kejahatan dalam dunia maya (cyber crime) telah melanda semua sektor, tak terkecuali dunia usaha. Cyber crime dapat dilakukan oleh individu maupun kelompok via internet, seperti blackmail, hacking, cracking, carding, denial of services attach (DOS), pencurian identitas (theft of identity), serta praktek kecurangan (fraud). Cyber crime dapat terjadi kapan saja dan di organisasi mana saja. Dalam hal ini, Cyber crime sangat sulit untuk dicegah karena memerlukan teknologi yang amat canggih untuk mendeteksinya.
Jika zaman dahulu metode hacking masih berbasis command-line, maka saat ini sudah berganti menjadi Graphical User Interface (GUI), bahkan melalui Internet Relay Chat (ICT) para hacker dapat saling bertukar informasi menggunakan koneksi jaringan internet yang terbuka.
Berdasarkan data dari Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI), pada awal tahun 2008 ternyata sindikat pemalsu telah membobol hampir 25 % dari pemegang kartu kredit. Penerbit kartu kredit (credit card issuer) memang belum merilis berapa jumlah kerugian dari pembobolan kartu kredit tersebut, namun yang jelas pemegang kartu kredit (card holder) dirugikan cukup besar, mengingat sebagian kejahatan kartu kredit (carding) ini banyak yang belum terungkap.

Langkah pengamanan
Untuk menanggulangi masalah denial of services (DOS), pada sistem dapat dilakukan dengan memasang firewall dengan Instrussion Detection System (IDS) dan Instrussion Prevention System (IPS) pada Router. Selanjutnya, setiap terminal dipasang anti virus dan anti spy ware dengan upgrading dan updating secara periodik yang dapat mendeteksi adanya program virus dan trojan.
Yang tidak kalah penting, adalah melakukan proteksi security system terhadap password, yaitu agar dihindarkan akses oleh yang tidak berhak (unauthorized password). Dalam rangka pengamanan kartu kredit dari tindak kejahatan, beberapa perbankan telah mengganti (migrasi) kartu kredit sistim magnetis menjadi chip. Meskipun ini baru langkah awal, namun patut kita berikan apresiasi. Sistem chip memang membuat para pemalsu kartu kredit kalang kabut, karena sulit untuk dipalsukan.

Audit terhadap Cyber Crime
Mengingat kejahatan ini menggunakan teknologi tinggi, maka pembuktiannya relatif sulit dan memerlukan pengetahuan khusus, seperti forensic audit. Audit terhadap cyber crime dapat dilakukan dengan bantuan software, seperti CAAT (Computer Assisted Audit Tools). Auditor yang melakukan audit atas cyber crime, selain harus ahli di bidang EDP Audit juga ahli di bidang fraud audit. Untuk memiliki keahlian khusus dibidang audit sistem informasi, auditor dapat mengikuti ujian sertifikasi untuk memperoleh gelar CISA (Certified Information System Audit). Akan lebih baik lagi, apabila auditor tersebut juga memiliki gelar CFE (Certified Fraud Examiner).
Melalui kombinasi keahlian dibidang audit sistem informasi dan fraud audit, diharapkan dapat mengungkap cyber crime secara cermat dan cepat. Saat ini kita perlu mengembangkan disiplin khusus yaitu computer forensic, hal ini menjadi sangat penting mengingat cyber crime melalui kejahatan komputer (computer fraud) semakin meluas dan canggih. Semoga masalah cyber crime ini mendapat perhatian berbagai pihak, sehingga apabila terjadi, maka langkah pengamanan dan auditnya dapat dilakukan dengan tepat. ***

*) Internal Auditor sebuah BUMN, serta Dosen Luar Biasa FE Universitas Trisakti, STIE Trisakti & FE Universitas Mercu Buana.
( Sumber Internet)

PANDANGAN YURIDIS CONFLICT OF LAW DAN CHOICE OF LAW DALAM KONTRAK BISNIS INTERNASIONAL

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 1 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
PANDANGAN YURIDIS CONFLICT OF LAW DAN CHOICE OF LAW DALAM KONTRAK BISNIS INTERNASIONAL
Oleh: Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, SH1
A. Umum
1. Pengantar
Conflict of law menjadi salah satu topik dalam diskusi berkepanjangan yang dibahas dalam Working Group VI UNCITRAL bulan September 2005. Tujuan pembahasan adalah untuk membentuk model law bisnis internasional, antara lain sengketa hukum dalam pelaksanaannya, terutama yang berhubungan dengan kebebasan para pihak menentukan hukum dalam penyelesaian sengketa mereka (choice of law) dan pembatasannya, yang semakin berkembang dalam pelaksanaannya, berakibat dibutuhkannya pengaturan yang lebih luas.
Keadaan nyata dapat dilihat pada perlindungan terhadap risiko yang timbul dalam perjanjian terkait dengan aktivitas bank dalam pelaksanaan fungsinya sebagai lembaga untuk menyediakan dan membiayai, seperti perkreditan, treasury, investasi, dan pembiayaan perdagangan.2
1 Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Departemen Hukum dan HAM RI.
2 Dalam menjalankan usahanya, bank menghadapi berbagai risiko, antara lain penerbitan surat berharga yang dipersengketakan, tunduk pada ketentuan dalam UU No. 7 Tahun 1992 Tentang
Hukum sebagai penunjang utama dalam pelaksanaannya agar berjalan
secara tertib berdasarkan hokum nasional para pihak yang membatasi
pilihan hukum, misalnya UU Kepailitan,3 UU Lingkungan Hidup, UU Perbankan (termasuk kantor cabang bank asing mengikuti ketentuan ini vide Peraturan Bank Indonesia No. 7/4/PBI/2005 tentang
Prinsip Kehati-hatian).
Dalam Sekuritisasi Aset Bank Umum, HAKI,4 PP tentang Waralaba, dan sebagainya, memperhatikan model law perdagangan internasional yang disepakati dalam UNCITRAL.
Tujuannya adalah menciptakan efisiensi, konsistensi, dan koherensi dalam unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional.
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, dan dapat pula karena risiko
kredit, yaitu risiko yang timbul akibat kegagalan counter part memenuhi kewajibannya.
3 Kasus insolvensi di Indonesia berlaku UU Kepailitan, berdasarkan Pasal 2 UU No. 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang. Untuk proses likuidasi bank,
berlaku ketentuan Bab VI mengenai Likuidasi UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan.
4 Lihat UU No. 15/ 2001 tentang Merk, dan UU No. 14/ 2001 tentang Paten yang menentukan bahwa apabila terjadi conflict of law, maka hukum yang berlaku adalah hukum dari negara yang memberikan hak khusus atas HAKI tersebut.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 2 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
Konvensi internasional sebagai model law yang berlaku, pelaksanaan kontrak, antara lain di bidang barang, seperti The Hague Convention on the Law Applicable to Contracts of International Sale of Goods (1986).5 Konvensi dibidang
transaksi elektronik, pelaksanaan fungsi pengawasan pelaksanaan Konvensi New York 1958 tentang recognation and enforcement of Foreign Arbital Awards, dan sebagainya.
Dalam kenyataannya ketentuan hukum harmonisasi yang merupakan model law saat ini sudah tidak memadai dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan bisnis internasional, terutama yang menyangkut pelaksanaan penyertaan modal, transaksi elektronik, pemberian kredit/ hak dan kewajiban para pihak dikaitkan
dengan perjanjian baku, dalam pelaksanaan fungsi bank sebagai penyedia dan penerima dana.
Lembaga internasional/ Majelis Umum PBB, khususnya Komite VI (Hukum), melalui UNCITRAL, dalam mengantisipasi perkembangan yang terjadi telah melakukan usaha mengumpulkan pendapat dan kesepakatan negara anggota untuk membuat suatu konvensi yang menjadi model atau rujukan dalam pembangunan rezim hukum
5 Konvensi ini menentukan bahwa hukum yang berlaku dalam suatu kontrak penjualan yang tidak dipilih oleh para pihak adalah hukum tempat kedudukan bisnis penjual saat kontrak dibuat. Pasal 13 menentukan bahwa apabila tidak ada
pilihan hukum yang tegas maka berlaku hokum negara pemeriksaan barang dilakukan.
perdagangan internasional dalam bentuk model law yang sesuai kebutuhan saat ini, misalnya dalam kaitan dengan conflict of law yang berhubungan erat dengan choice of law (pilihan hukum), yaitu hak para pihak untuk memilih hukum yang
berlaku apabila terjadi conflict of law.
B. Permasalahan
1. Apa, dan bagaimana pelaksanaan lembaga choice of law, dalam pelaksanaan
kontrak bisnis internasional apabila terjadi conflict of law?
2. Apa permasalahan dan solusi penerapan choice of law dalam pelaksanaan kontrak bisnis internasional apabila terjadi conflict of law?
C. Pembahasan
1. Perkembangan Choice of Law dalam Kontrak Bisinis Internasional
Hak dan kewajiban para pihak yang menjadi dasar penyelesaian sengketa
mereka dalam conflict of law diistilahkan sebagai choice of law, dan ada pula yang mempergunakan party autonomy. Istilah choice of law lebih pasti pengertiannya dari pada party autonomy, sebagaimana
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 3 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005 dikemukakan oleh Sudargo Gautama.6 Istilah party autonomy sering dipahami secara keliru (misleidend) dalam Hukum Bisnis Internasional, sehingga menimbulkan pemikiran ke arah yang sebenarnya tidak dicakup oleh istilah tersebut. Istilah autonomy (otonom) mengandung pengertian menentukan sendiri
hukum yang harus berlaku bagi mereka. Secara hukum para pihak
tidak mempunyai kemampuan untuk membuat sendiri undang-undang bagi mereka. Tidak ada kewenangan untuk menciptakan hukum bagi para pihak yang berkontrak. Mereka hanya diberikan kebebasan untuk memilih hukum mana yang mereka kehendaki untuk diterapkan bagi kontrak yang mereka buat, dan tidak diberikan kewenangan untuk secara otonom menentukan sendiri hukum yang harus berlaku bagi mereka. Kolleewijn mengemukakan
dalam kaitan ini: “Het is slechts kiesvrijheid...Niet het recht tot selfregeling”. 7 (Itu hanyalah kebebasan
6 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional, Jilid II Bagian 4, Buku ke 5, Penerbit Alumni, Bandung, 1992, hal. 3. Menurut Szaszy Schnitzer, dalam Private International Law in
European People’s Democraties, Leiden Universiteit, Leiden, 1964, P. 211, bahwa party autonomy (Inggris) dalam bahasa Belanda partij autonomie, parteiautonomie/ Jerman atau party
autonomy/ intention of the parties/ Inggris, lebih menekankan hak para pihak tanpa batas. Schnitzer, dalam Handelingen Nederlandse Juristenvereniging, Marthijn Nijhof, Nederland, P. 106, mengatakan bahwa istilah lain dari party
autonomy adalah rechtskeuze, atau choice of law,
yang menurut Schnitzer istilah choice of law lebih sesuai karena menggambarkan apa yang diartikan
dengan istilah hukum yang bersangkutan dalam hukum perdata internasional.
7 Kollewijn, R.D, Rechtskeuse, Een Nederlandsch- Indische Rechtspiegelvoorgehouden aan het
untuk memilih....bukanlah hak untuk mengatur sendiri–Terjemahan
Redaksi). Perkembangan masalah otonomi para pihak ke arah kebebasan
memilih hukum yang menjadi dasar hubungan perjanjian para pihak sudah dipraktekkan sejak dahulu. Otonomi para pihak secara konkrit baru dikenal kemudian. Dumolin seorang ahli hukum Italia abad pertengahan mengemukakannya berkenaan dengan masalah syaratsyarat perkawinan (huwelijksvoorwaarden) berkaitan dengan ide kebebasan para pihak.8
Di Perancis dan Nederland ajaran Dumolin ini telah tersebar. Kebebasan para pihak untuk memilih hukum ini ternyata tidak dibatasi untuk soal-soal perkawinan, tetapi juga dibidang hokum perjanjian diakui pilihan hukum oleh
para pihak, baik secara tegas maupun diam-diam, sebagai factor yang menentukan. Namun demikian belum tegas bagi para penulis saat itu tentang kebebasan untuk memilih hukum apakah juga berlaku
International Privaatrecht. Paul Scholten, Verzamelde Opstellen over Intergentiele Privaatrecht Rechtsgeleerde Opstellen Aangeboden aan, Bandung, 1955, hlm. 4. 8 De winter, L.J. op. cit, hal 23. Menurutnya persoalan epoux meries sans contrat telah menjadi famossismo question dan Dumuolin sebagai ahli hukum Perancis saat itu yang pertama-tama telah memberikan perumusan tegas daripada ide kebebasan para pihak. Karenanya ia disebut sebagai fondateur de la doctrine.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 4 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
sebagai ketentuan yang bersifat mengikat (dwingend).9 Choice of law (pilihan hukum) dalam hukum perjanjian adalah kebebasan yang diberikan kepada para pihak untuk memilih sendiri hukum yang hendak dipergunakan untuk perjanjian mereka.10 Tujuan penerapan pilihan hukum adalah perlakuan sama untuk kasus serupa, dan pengembangan kepentingan, tujuan dan kebijakan masyarakat.
Ada beberapa alasan memberlakukan pilihan hukum, yaitu memberlakukan klausula pilihan hukum yang terdapat dalam kontrak (pengakuan) terhadap party
autonomy,11 mengesampingkan pilihan hukum, dan memberlakukan klausula pilihan hukum sebagai penunjang, dan bukan factor penentu.12
9 Abad ke 19 ajaran kebebasan memilih oleh para pihak ini semakin berkembang, dipergunakan oleh para hakim, antara lain Von Savigny. Menurutnya bahwa hubungan hokum ditampilkan dalam bentuk penundukan sukarela pada sesuatu stelsel hukum yang terjadi karena dipilih (lex loci executions). Pilihan sedemikian ini terutama terjadi secara diam-diam. Teori otonomi para pihak dikembangkan oleh Mancini, bahwa otonomi para pihak merupakan salah satu dari
hak asasi keseluruhan bangunan hukum perdata internasional disamping prinsip nasionalitas dan
kepentingan umum. Mancini menjadikan kebebasan para individu untuk menentukan hukum bagi hubungan kontrak mereka, namun kebebasan tersebut dibatasi oleh faham ketertiban umum.
10 Sudargo Gautama, op. cit, hal 5, lihat pula Subekti, Hukum Perjanjian, Alumni Bandung,
1987, hal. 11. 11 Apabila hukum yang dipilih berhubungan erat dengan kontrak, dan tidak melanggar kebijakan fundamental dari negara lain yang lebih besar kepentingannya terhadap keputusan pokok. 12 Dari berbagai putusan pengadilan di berbagai negara, dapat dilihat tidak ada perbedaan prinsipil antara sistem hukum yang ada di dunia,
Manfaat pilihan hukum adalah memuaskan para pihak karena
menggunakan hak dasarnya, bersifat kepastian karena memungkinkan para pihak dengan mudah menentukan hukumnya, memberikan efisiensi dan manfaat.
Dasar pertimbangan berlakunya pilihan hukum atas pemikiran bahwa semua negara tidak memiliki system hukum nasional yang sama. Apabila tidak ditentukan pilihan hukum, maka diterapkan hukum privat nasional.
Pembahasan tentang party autonomy ditampilkan dalam satu bahasan perkembangan praktek bisnis internasional berkaitan dengan kontrak. Dikemukakan dalam Pokja UNCITRAL, bahwa party autonomy harus diakui dalam perjanjian baku perbankan, misalnya perjanjian kredit antara bank sebagai
kreditur dan debitur sebagai penerima kredit. Klausula dalam perjanjian baku tersebut harus bersifat perintah (mandatory) dalam rangka melindungi debitur sebagai pihak yang melunasi kredit agar dapat membayar hutangnya sesuai
kesanggupannya, bila terjadi conflict of law.
Aspek-aspek lain yang dibahas apabila terjadi conflict of law, antara lain tentang negotiable instrument dan negotiable document, disamping conflict of law. Apakah
seperti common law, social law, dan anglo saxon. Pengaturan pilihan hukum secara umum adalah kebutuhan akan perlindungan dan kepastian para pihak dalam melakukan hubungan dagang yang melewati batas wilayah.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 5 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
dalam menyelesaikan sengketa para pihak hukum negara pihak penanggung (guarantor) dapat sebagai tempat penyelesaiannya.
Selanjutnya disinggung pula substansi pengaturan berkaitan dengan benda bergerak yang harus didaftarkan, dan intellectual property yang sudah disetujui dalam sidang sebelumnya sebagai security right intangible property, yang akan
dilanjutkan di New York. Pembahasan yang dilakukan oleh Pokja Hukum UNCITRAL tersebut merupakan pembahasan yang selama ini telah dilakukan, dan sebagian sudah mencapai kesepakatan, antara lain ECommerce, the Use of Electronic Communications in International Contracts, yang dibahas oleh Pokja
IV sebagai respon terhadap kebutuhan hukum berkaitan dengan secured transaction, yang secara efisien diharapkan mampu menghilangkan hambatan hokum dan memberikan dampak positif terhadap kesediaan biaya bagi
kredit.13
Pelaksanaan Sidang Working Group UNCITRAL yang diselenggarakan
tanggal 5-9 September 2005, membahas masalah security interest, sesi ke 8 untuk draft rancangan ketentuan hukum secured
13 Sebagian besar masih dalam proses pembahasan. Substansi yang dibahas adalah mengenai procurement (Pokja I), arbitration (pokja II), transport law (Pokja III), insolvency law (Pokja V), dan security interest (Pokja VI). Security interest oleh Pokja VI merupakan lanjutan pembahasan pada sesi 7, diselenggarakan di New York pada tanggak 24-28 Januari 2005.
transaction, dengan fokus secured credit law.
Pertimbangan pembahasan isu mengenai secured credit law ini adalah merupakan respon terhadap kendala-kendala hukum yang timbul dalam pelaksanaan penyediaan dan pembiayaan bank. Beberapa hasil keputusan dalam pembahasan Working Group VI tersebut adalah chapter IX tentang insolvency, chapter X tentang acquisition financing, dan chapter XI tentang
conflict of law.
Diskusi terkait dengan conflict of law antara lain menyinggung tentang bank account (rekening bank), dan security account (surat berharga).
Kedua instrumen ini sulit dibedakan dalam pelaksanaan fungsi bank sebagai pihak ketiga dalam melayani nasabah. Security account berfungsi sebagai pemenuhan kewajiban yang diatur terakhir dalam Hague Convention lebih kompleks dari bank account. Kesepakatan pemanfaatan surat berharga sebagai
pemenuhan kewajiban mengikuti perjanjian pokok, dan harus dibayar saat jatuh tempo oleh penerbit.
2. Choice of Law dan Ketertiban
Umum
Ketertiban umum dan choice of law merupakan dua asas hukum sangat penting dalam conflict of law. Para ahli beranggapan bahwa ketertiban umum berfungsi sebagai lembaga yang membatasi kebebasan para
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 6 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
pihak dalam menentukan choice of law yaitu memilih hukum yang berlaku bagi mereka apabila terjadi sengketa.
Hijman mengatakan dalam bidang perdata internasional masih didiskusikan tentang seberapa jauhkah arti dari hak para pihak dalam menentukan hukum bagi mereka. Apakah keinginan para pihak memiliki peranan dalam menentukan hukum yang harus diperlakukan. Berkaitan dengan partij-autonomie dikatakan bahwa “Met dit vragstuk raak ik een hoofdproblemen, van het geheele privaatrecht: de betekenis van den menselijken wil voor het recht”.
(Dengan pertanyaan ini sampailah saya pada masalah yang utama dari keseluruhan hukum perdata: arti dari keinginan manusia terhadap hukum–Terjemahan Redaksi) Choice of law sangat penting dihubungkan dengan ketertiban umum, yang bila dilihat dari sudut pandang falsafah peranan kemauan
individu terhadap hukum yang berlaku (wildogma) dan ajaran Romawi. Persoalan pilihan hokum dalam bidang bisnis internasional menampilkan unsur-unsur falsafah hukum, mengandung pula segi-segi teori hukum, praktek hukum dan politik hukum, yang oleh Kosters disebut sebagai de hoek steen van het rechtstelsel (batu penjuru dari suatu sistem hukum-Terjemahan Redaksi).
Pendekatan semacam ini dapat mempengaruhi pandangan ke arah falsafah tentang sejauh manakah peranan kemauan individu terhadap hukum yang berlaku, atau dalam hukum romawi mengenai animus, voluntas, consentire, yang
substansinya tidak diuraikan lebih jauh dalam tulisan ini. Persoalannya adalah dalam menentukan haknya bila terjadi conflict of law. Para ahli dibidang bisnis
internasional mengakui bahwa secara empiris prinsip pilihan hokum dibidang kontrak dipergunakan di dunia tanpa mempersoalkan pandangan secara dogmatis yang dikemukakan para ahli. Pelaksanaannya lebih didasarkan
pada pertimbangan dari segi prinsipprinsip ekonomi, dan hukum, berkaitan dengan batas-batas kewenangan choice of law. Batas kewenangan choice of law dapat dilakukan secara tidak terbatas, atau dibatasi hanya dalam hal-hal tertentu, yaitu tentang hokum manakah yang berlaku bagi kontrak yang disepakati para pihak, dan sejauh manakah para pihak dapat menentukan sendiri hukum yang dipergunakan bagi hubungan hukum mereka, dan apabila para pihak tidak menggunakan haknya untuk memilih hukum yang berlaku bagi mereka maka hukum manakah yang menjadi dasar pelaksanaan kontrak mereka.
Ketentuan apakah yang pantas diterapkan apabila para pihak tidak mempergunakan haknya dalam
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 7 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
menentukan pilihan hukum, dan apabila menggunakannya hak tersebut ditinjau dari sifat kebebasan untuk menentukan sendiri hokum yang berlaku bagi para pihak yang berkontrak sesuai dengan logika atau bertentangan dengan sifat
memaksa (dwingend) dari ketentuan peraturan perundang-undangan. Juga merupakan persoalan apakah para pihak bebas dalam pilihan mereka atau sangat terbatas dalam kemampuan mereka ini. Apakah para pihak dapat menentukan kaidah-kaidah tertentu tunduk atau berlaku hanya terhadap bagianbagian tertentu dalam kontrak, sehingga dalam satu kontrak terdapat beberapa kaidah yang menjadi dasar penundukan/ sebagian tunduk kepada hokum tertentu, sedangkan bagian lainnya dari kontrak tunduk kepada hukum
lain perlu diamati secara tersendiri.
Berkaitan dengan substansi ini, Rabel yang mendukung prinsip kebebasan memilih hokum mengatakan bahwa para pihak berhak menentukan hukum yang
berlaku dalam kontrak mereka.14 Secara empiris dapat dilihat pada hasil penelitian terhadap keputusan Mahkamah Agung Internasional, dan badan-badan arbitrase
14 Rabel, dalam Sudargo Gautama, op.cit, hal 122, mengatakan bahwa “despite some the parties to a contract have a right to determine the law applicable to their contractual relationship only the limits may be controversial. Hence the recent literature interest it self more in the limits to
imposed upon the autonomy of the parties intention than in challenging its existence”.
internasional tentang adanya pengakuan terhadap hak pilihan hukum bagi para pihak (the principle of the importance of the intention of the parties has been adopted by most courts and publicits). Sudargo Gautama mengemukakan pendapat Winter dalam suatu karangan khusus mengenai peranan yang memaksa pada perjanjian-perjanjian internasional tentang penerimaan pilihan hukum oleh para pihak berkenaan dengan dilakukannya kontrak-kontrak internasional.15
Ketertiban umum memiliki beberapa fungsi dihubungkan dengan choice of law, pertama; sebagai rem atau penghambat, yaitu membatasi diberlakukannya hukum asing dalam hal-hal tertentu. Kedua; untuk menghalangi kebebasan hak
otonomi para pihak dalam menentukan berlakunya hokum dalam kontrak mereka. Ketiga; sebagai elemen yang membatasi berlakunya stelsel hukum asing yang tidak sesuai dengan stelsel hokum dari hakim yang mengadili sengketa para pihak; dan keempat; sebagai perlindungan terhadap pemakaian
otonomi hak para pihak dalamn choice of law yang terlampau luas.
Fungsi ketertiban umum tersebut secara empiris terdapat di Cina. Ketentuan hukum Cina melarang
15 De Winter, LJ, Dwingen Recht bij Internasionale Overeenkomsten, University of Leiden, Marthijn Nijhof, Nederland, 1964, hal 329-331. “Deze opvatting, die aanvankelijk op bezwaren van dogmatische aard stuitte, wordt thans in vrijwealle landen zowel in de rechtspraak als de
wetenschap aanvaard”
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 8 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
pelaksanaan choice of law dalam kontrak bisnis yang terkait dengan teknologi. Ketentuan hukum yang dipergunakan adalah hukum Cina.
Ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan dan Ekonomi
Cina itu mengenai kebijakan importeknologi di RRC.16 Oleh karena itu menurut Niboyet, salah satu ahli yang menentang otonomi para pihak, mengatakan bahwa apabila istilah otonomi dipergunakan perlu membatasi pengertiannya, misalnya dalam bentuk definisi untuk menghindari pelaksanaan yang luas.17
Caleb menyebut ketertiban umum atau openbare orde (Belanda), dan ordre public (Perancis), sebagai pembatasan utama kebebasan untuk melaksanakan kemauan seseorang dalam bidang kontrak untuk menghindari terjadinya penyelundupan hukum.
Penyelundupan hukum itu dapat dilakukan melalui perubahan titik taut yang menentukan dalam proses hukum yang dipakai sebagai dasar dalam penyelesaian suatu peristiwa
16 Douglas C. Markel dan Randy Peerenboom. The Technology Transfer Tango, The China Business, January-February 1997, P. 25. 17 Niboyet, dalam Subekti, op.cit. hal. 12 Volker Triebel dalam The Choice of Law in Commercial Relations, A German Prespective, International and Comparative Law Quarterly, Vol. 37, October 1988, P. 939, mengemukakan bahwa di negaranegara lain antara lain Jerman membentuk undang-undang yang membatasi party autonomy, yaitu the act on the regulation of standardized contract. Pilihan hukum para pihaktidak boleh mengabaikan peraturan perundang-undangan yang berlaku, apabila kontrak bersifat publik, misalnya public offer, public advertising di Jerman. hukum. Peranan subyektif dengan jalan memindahkan atau mengubah titik-titik taut penentu ke arah stelsel
hukum lain yang dikendaki dapat berakibat terjadinya penyelundupan hukum ini.
Penyelundupan hukum adalah penggeseran titik-titik pertalian obyektif yang menentukan titik pertalian sekunder. Para pihak melakukan perubahan domicilie, atau menutup kontrak di luar negeri, atau memilih tempat pelaksanaan (lex loci executionis) di luar negeri.
Secara hukum, pilihan hukum dapat dilakukan dengan titik pertalian yang bersifat obyektif, seperti misalnya kewarganegaraan (lex patriea), domisili (lex domicilie),
tempat letaknya benda (lex rei sitae), tempat kontrak dilaksanakan (lex loci contractus), dan sebagainya.
Untuk menghindari terjadinya penyelundupan hukum, melalui sikap pihak bersangkutan secara sewenang-wenang memilih hokum yang dibalut kepentingan menguntungkan dirinya sendiri, dan bukan hukum yang berlaku di
negara salah satu pihak yang melakukan kontrak, maka diterapkan persyaratan secara tegas.18
18 Yurispudensi negara-negara dengan system hukum Anglo Saxon sangat tegas menerapkan
persayaratan ini. Misalnya dalam hukum Inggris, sebagai jawaban atas pertanyaan yang telah diajukan oleh pemerintah Belanda berhubung dengan Konfrensi ke-6 di Den Haag mengenai jual
beli internasional telah dikemukakan antara lain: “The view adopted in English Law is that a
contract ought to be governed and is governed by the law or laws to which the parties intended to
summit themselves. When the parties expressly
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 9 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
Jika dilakukan perbuatan bersangkutan di tempat tertentu, maka pilihan tempat ini tidak dengan sengaja dipilih dengan maksud untuk melakukan penyelundupan. Rabel mengemukakan “the place should not be intentionaly selected for the purpose of evasion”, dalam berbagai sistem hukum tertentu disyaratkan bahwa pemilihan hanya dapat dilakukan mengenai hukum yang
benar-benar mempunyai hubungan nyata dengan peristiwa hukum yang bersangkutan.
Pemilihan hanya terhadap hokum yang ada hubungan tertentu dengan kontrak bersangkutan. Persyaratan di atas merupakan usaha untuk menghindari kemungkinan pilihan hukum berubah menjadi penyelundupan hukum. Dalam hubungan ini dapat ditunjuk pada perkara-perkara riba, yang seringkali terjadi pada Yurispudensi USA tentang perbedaan “rate” bunga dan syarat-syaratnya di berbagai negara bagian, mengakibatkan terjadinya penyelundupan hokum dengan jalan pilihan-hukum. Dalam hal ini Hakim berpendirian bahwa pilihan hukum hanya dapat diterima, jika hukum yang dipilih merupakan hukum domisili sebenarnya para pihak dan kontrak ditutup, sekaligus
stipulate that their contract shall be governed by the contract, provided that the stipulation express the bonafide intention of the parties. But a contract will not be enforced in England, whetherm lawful by the law which the parties intended to be applicable or not, (1) if it or the enforcement of it is opposed in English interests of state, or to the police of the English law, or the moral rules upheld by English law…”
dianggap dibuat, dan dilaksanakan dan dilakukannya pembayaran.19
3. Choice of Law Dalam Praktek Perbankan
Secara empiris putusan hakim Indonesia yang berkaitan dengan choice of law dalam perkembangannya jarang ditemukan, disebabkan perkaraperkara yang diajukan ke pengadilan Indonesia pada umumnya kurang dipermasalahkan pilihan hukum oleh para pihak, demikian pula terdapat sebagaian besar hokum Indonesia yang mengatur pembatasan pilihan hukum, yang berdampak kepastian hukum.
Kenyataan dapat disimak sejak dahulu, bahwa dalam praktik choice of law terdapat pembatasan pemberian hak terhadap para pihak.
Sebelum kemerdekaan dapat dilihat dalam kasus “Tijdschrift van het Recht”, diputuskan hakim Indonesia berkaitan dengan sistem choice of law, atau rectskeuze yaitu Arrest dari Hoogerechtshof tahun 1935, tentang penggunaan wesel yang telah diendosir kepada order dari
19 Sudargo Gautama, op. cit hal 123. Niboyet yang dikutip oleh Sudargo Gautama menegaskan
bahwa penunjukan kepada hukum intern negera bersangkutan yang dapat diterima. Jika diakui
adanya kewenangan untuk memilih hukum disatu pihak, maka tidaklah pada tempatnya bahwa
hukum yang dipilih ini kemudian kembali menunjuk kepada hukum lain sebagai hokum yang akan memecahkan sengketa yang bersangkutan. Jika demikian halnya, maka ini akan merupakan suatu kontradiksi dengan pikiran mengenai otonomi.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 10 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
dan diserahkan kepada Barclay’s Bank Limited. Kasus Zecha v. Samuel Jones & Co (Export) Ltd, Pedagang Lois Zecha yang bertempat tinggal di Sukabumi dan pedagang dengan merek dagang “Soekaboemische Snelpersdrukkerij” telah digugat oleh perusahaan Inggris Samuel Jones & Co (Export) Ltd, berkedudukan di London, untuk membayar 12 wesel yang telah ditarik oleh perusahaan George Man & Co Limited di London pada ordernya sendiri atas tergugat Zecha, wesel-wesel tersebut telah diaksep oleh George Man & Co Limited, sebagian dari wesel-wesel ini telah diendosir kepada order dan diserahkan kepada Barclay’s Bank Limited, yang kemudian diedarkan kepada pihak lain, dan setelah jatuh tempo pihak Zecha tidak bersedi membayar.20
Menurut pertimbangan Hooggerechtshof para pihak saat melakukan perbuatan-perbuatan tersebut adalah agar hokum Indonesia yang diberlakukan. Para pihak telah memilih hukum
20 Sudargo Gautama, op.cit 211. Sebagai alasan dikemukakan bahwa tuntutan berdasar weselwesel ini tidak beralasan, justru pihak Zecha yang mempunyai gugatan penggantian kerugian setelah wanprestasi oleh pihak Mann & Co, berdasarkan jual beli mesin, karena mesin tersebut rusak dan tidak dapat dipergunakan, berakibat telah ditarik wesel-wesel tersebut. Pihak Jones sudah mengetahui lebih dahulu sebelum mengambil alih wesel-wesel tersebut. Pengambilalihan wesel-wesel oleh Jones ini juga semata-mata merupakan suatu perbuatan purapura (schijnhandeling) karena sebenarnya cessiecessie bersangkutan hanya dilakukan supaya lebih mudah pihak Mann & Co dapat memperoleh jumlah yang dituntutnya.
Indonesia sebagai sistem hokum yang bersangkutan yang harus
dipergunakan.21
Walaupun dari kasus ini ternyata bahwa cessie bersangkutan telah dilakukan di London, dihadapan Notaris Jhon Dalton Venn, yang berpraktik di kota itu. Hooggerechtshof beranggapan bahwa hukum Indonesia yang berlaku. Dalam hal ini terlihat bahwa Hooggerechtshof tidak mempertimbangkan lex loci
contractus sebagai yang menentukan, dan kemampuan para pihak yang lebih diutamakan pada tempat dimana akta dibuat.
Dengan mempergunakan hokum Indonesia, Hooggerchtshof berpendirian bahwa akta-akta cessie yang dibuat mempunyai titel yang sah karena ternyata cessie dan peralihan hak yang bersangkutan telah terjadi dengan pembayaran oleh pihak Jones kepada Barclay’s Bank dari jumlah yang ditagih oleh Jones dari Zecha, dan cessie semacam ini dianggap berlaku menurut ketentuan-ketentuan
hukum Indonesia.
Peranan ketertiban umum dalam penentuan choice of law diefektifkan dalam memutuskan
21 Pertimbangan Hooggerechtshof untuk mengetahui apakah yang merupakan kehendak para pihak saat membuat perjanjian itu, berbunyi sebagai berikut: “de grief den hove gegrond voorkomt, Immers en het feit dat de akten in de Nederlandsche taal zijn gesteld en ook den
inhound van de akten erop wijzen, dat zowel de cedens als de cessionaries de toepasselijkheid van het Nederlansch-indisch recht voor oogen stond”.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 11 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
kasus-kasus oleh pengadilan dan Mahkamah Agung di negara-negara di dunia, misalnya di Amerika Serikat.
Dalam perkara First National Bank vs Banco Pere El Commercio Exiterior de Cuba,22 tahun 1983, Mahkamah Agung Amerika Serikat, telah menggunakan pilihan hukum dan ketertiban umum dalam menentukan kasus nasionalisasi property yang dilakukan Cuba bertentangan dengan ketertiban umum, yaitu tidak sesuai dengan hukum yang berlaku dan situasi yang terjadi. Putusan Mahkamah Agung mengijinkan “Citibank’s set off, advancing both equitable principles and United States public policy”. Pengadilan di Amerika Serikat menghormati pilihan hukum para pihak dalam kontrak internasional, namun mempergunakan konsep
ketertiban umum (public policy) sebagai suatu alat yang mengizinkan forum pengadilan untuk mengabaikan penerapan hokum asing yang tidak sesuai. David Cliffort mengatakan bahwa pembenaran klasik penggunaan konsep public policy terhadap pilihan hukum, yaitu penerapan dalam tradisi kesejahteraan umum.23
22 Yansen Dermawan Latief, Disertasi, Pilihan Hukum dan Pilihan Forum Dalam Kontrak
Internasional, Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Program Pascasarjana, Jakarta 2002, 67-
72. 23 David Cliffort, “Transnational Public Policy as a Factor in Choice of Law Analisis”, New York Law School of Journal of International and Comparative Law; 1984, 5 No. 2 & 3, P 367.
Pembatasan terhadap pilihan hokum para pihak diatur dalam Pasal 187 (2) (b) The Restatement (second), yang menentukan pengadilan mengikuti hukum para pihak, kecuali bertentangan dengan kebijaksanaan mendasar dari Negara yang mempunyai hubungan lebih erat dengan pilihan hukum yang telah dilakukan.24
Klausula pilihan hukum memang secara esensi memberikan para pihak kecakapan untuk mengeluarkan suatu peraturan “illegality” atas kontrak dan
mengesampingkan hukum, namun the restatement juga menentukan pembatasan-pembatasan. The Restatement’s “fundamental policy” dan “materially greater interest test” adalah suatu versi modifikasi dari pendekatan analisis kepentingan (interest analisis).25
24 Ari Dobnert, “Litigation for Sale “University of Pennsylvania Law Review. V. 144:1529. Ia
mengemukakan bahwa application of the law of chosen state would be contrary to a fundamental
policy of state which has a materially greater interest than the chosen state in the
determination of the particular issue and which, under the rule of & 188, would be the state of applicable law in the absence of an effective choice of law by the parties.
25 Joint venture antara warga negara Cuba dan perusahaan-perusahaan Amerika Serikat telah
menanamkan modal di Cuba. Dalam pelaksanaannya beberapa bank, termasuk Citibank telah membuka cabang di Cuba untuk melancarkan usahanya termasuk dana investasi, namun demikian, akibat politik, hubungan Cuba dan Amerika Serikat semakin sulit saat itu.
Amerika Serikat melakukan ketentuan melarang impor gula dari Cuba. Untuk menanggulangi persoalan bisnis, pemerintah Cuba mengeluarkan peraturan menasionalisasi seluruh property dari penduduk Amerika Serikat di Cuba. Cuba mengatakan bahwa Banco National mempunyai
suatu “legal personality and was a separate juridical entity. Banco National capable of suing
and being sued”. Bank hanya bertanggung jawab
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 12 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
Indonesia menganut kedua asas tersebut, baik asas kebebasan berkontrak maupun ketertiban umum, atas dasar Pasal 1337 KUHPerdata, bahwa suatu sebab terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum, demikian pula Pasal 25 AB, bahwa perbuatan atau perjanjian tidak boleh menghilangkan kekuatan peraturan hukum, ketentuan umum atau kesusilaan. Pasal 17 AB mengatur tentang barang tidak bergerak berlaku hukum nasional di tempat barang itu terletak sesuai dengan asas lex rei sitae. Bagi tanah yang dijadikan jaminan harus didaftarkan pada kantor pertanahan, dalam
perjanjian antara kreditur asing dan debitur Indonesia.26 Demikian pula ketentuan UU Kepailitan menentukan penyelesaian kepailitan berdasarkan hokum Indonesia, dan bukan pilihan hukum para pihak. Ketentuan UU Kepailitan mengabaikan pilihan hukum para
terhadap modal dan aset, dan bukan merupakan tanggung jawab pemerintah Cuba atas utang
Banco National. Revolusi Cuba mengakibatkan perubahan ,ekonomi, sosial dan politik, “(t) here was a studied effort to preserve a continued corporate existence, while reorganizing the Central Bank to conform it to the new order”. Dengan demikian terjadi perubahan signifikan. Pertama, seluruh Banco National dimiliki dan dikontrol oleh pemerintah Cuba. Kedua, nasionalisasi secara
khusus terhadap property beberapa bank Amerika Serikat, termasuk Citibank. Dalam sengketa, Citibank dimenangkan atas dasar ketertiban umum.
26 St Remy Sjahdeni, Hak Tanggungan, Asas-asas Ketentuan Pokok dan Masalah Perbankan.
Pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan untuk lahirnya hak tanggungan, dan untuk mengikatnya pada pihak ketiga, Bandung, Penerbit Alumni, Hal 36-44.
pihak dalam kontrak bisnis internasional, dan menerapkan hukum Indonesia dalam penyelesaian sengketa insolvensi, dan penundaan pembayaran utang melalui kewenangan khusus, berupa yurisdiksi substantif yang efektif, berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan choice of law dalam conflict of law memberikan hak kepada para pihak untuk
menentukan hukum yang berlaku bagi bisnisnya. Hakim negara-negara
di dunia menghormati pilihan hukum para pihak. Namun demikian ada pembatasannya, melalui penerapan asas ketertiban umum, misalnya berdasarkan UU nasional pelaksanaan kontrak, misalnya di Indonesia UU Kepailitan yang menentukan berlakunya hokum nasional dalam penyelesaian conflict of law. Apabila hukum yang dipilih tidak mempunyai hubungan yang substantif dengan transaksi dan tidak memiliki alasan yang cukup bagi pilihan hukum para pihak, maka hakim akan menentukan hukum manakah yang berlaku.
Hukum negara hakim yang mengadili dapat menjadi dasar penyelesaiannya apabila hokum yang dipilih para pihak tidak dapat diterapkan dalam sengketa yang terjadi.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 13 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
DAFTAR PUSTAKA
Cliffort, David. Transnational Public Policy as a Factor in Choice of Law. Harvard
University Press, 1979. School of Journal of International and comparative
Law, 1984, 5 No. 2 & 3, P. 367.
Dobnert, Ari. Litigation for Sale. University of Pennsylvania Law Review. V. 144:
1529.
Gautama, Sudargo. Hukum Perdata Internasional. Jilid II Bagian 4. Buku ke 5.
Bandung: Alumni, 1992.
Kolewijn, RD. Rechtskeuse Een Nederlandsch Indische Rechtspiegelvoorge
houden aan het International Privaatrecht. Nederland, Marthijn Nijhof,
1969.
LJ, De Winter. Dwingen Recht bij Internationale Overeenkomsten. Leiden,
University of Leiden, Marthijn Nijhof, Nederland, 1964.
Schnitzer, dalam Handelingen Nederlandse Juristenvereeniging. Marthijn Nijhof,
Nederland, 1999.
Scholten, Paul. Verzamelde Opstellen over intergentiele Privaatrecht Rechtsgeleer
de Opstellen Aangeboden aan. Bandung, 1955.
Sjahdeini, St Remy. Hak Tanggungan, Asas-asas, Ketentuan dan Pokok dan
Masalah Perbankan. Bandung: Alumni, 1999.
Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Pustaka Djembatan, 1982.
Szaszy Schnitzer. Private International Law in European People’s Democraties.
Leiden, Leiden Universiteit, 1964.
Triebel, Volker. The Choice of Law Commercial Relations, A German Perspective,
International and Comparative Law Quarterly, Vol 37, October 1988.
Yansen Demawan Latief. Disertasi, Pilihan Hukum dan Pilihan Forum Dalam
Kontrak Internasional. Jakarta: Fakultas Hukum Program Pascasarjana,
Universitas Indonesia, 2002.
( Sumber Internet )

Contoh Duplik

Jambi, 25 Oktober 2007
Hal : Duplik atas Replik Penggugat Kepada Yth,
Majelis Hakim Perkara Perdata
No.108/PDT.G/2007/P.P. Negeri Jambi
Di –
Pengadilan Negeri Jambi

Majelis Hakim yang Terhormat,
Sesuai acara sidang dalam perkara perdata No.108/PDT.G/2007/P.P.Negeri Jambi hari ini, perkenankanlah kami sebagai tergugat untuk menyampaikan Duplik atas Replik Penggugat pada sidang Terdahulu. Adapun Duplik Tergugat adalah sebagai berikut :
Bahwa Tergugat tetap pada dalil-dalil sebagaimana yang telah dikemukakan dalam jawaban terdahulu dan sekaligus merupakan satu kesatuan dengan Duplik ini;
Hal-hal yang tidak Tergugat akui dalam Duplik berarti menolaknya secara tegas, kecuali hal-hal yang diakui secara tegas dan terperinci;
Bahwa benar Tergugat telah menjual tanah milik Penggugat untuk mengganti seluruh utang Penggugat kepada Tergugat.

Berdasarkan uraian diatas, maka kami mohon kepada Majelis Hakim yang Terhormat agar memberikan agar memberikan putusan sebagai berikut :
Menerima jawaban Tergugat sebagaimana yang dimnohonkan dalam petitum jawaban semula;
Menerima jawaban Tergugat secara keseluruhan;
Menonak gugatan Penggugat secara keseluruhan;
Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebagaimana tercantum dalam petitum jawaban Tergugat semula;
Jika Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.


Hormat Saya.
Kuasa Hukum Tergugat


Budi Ahyar, SH.

Tentang Perjanjian Kredit

Tentang Perjanjian Kredit
27 09 2006
Ada pepatah yang mengatakan bahwa untuk menjadi sukses, orang harus berani berhutang (mengambil kredit). Terlepas apakah pepatah ini benar atau keliru, tapi layak juga untuk dibahas berbagai kemungkinannya dalam pranata hukumSetiap kredit yang telah disepakati oleh pemberi kredit (kreditur) dan penerima kredit (debitur) maka wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian yaitu perjanjian kredit. Perjanjian itu sendir diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata. Perjanjian kredit sendiri berakar pada perjanjian pinjam meminjam sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata. Nah dalam pembuatan perjanjian kredit harus dilihat dan dipahami tentang syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu

1.Para pihak telah sepakat untuk membuat perjanjian2.Para pihaknya cakap untuk membuat perjanjian3.Ada hal tertentu yang diperjanjikan4.Dan perjanjian tersebut didasarkan pada sebab yang halal.

Perjanjian kredit mempunyai fungsi yang penting baik bagi kreditur maupun bagi debitur antara lain1.Berfungsi sebagai perjanjian pokok2.Berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan hak antara kreditur dan debitur3.Berfungsi sebagai alat monitoring kredit

Perjanjian kredit dalam prakteknya mempunyai 2 bentuk

1.Perjanjian dalam bentuk Akta Bawah Tangan (diatur dalam Pasal 1874 KUHPerdata)Akta bahwa tangan mempunyai kekuatan hukum pembuktian apabila tanda tangan yang ada dalam akta tersebut diakui oleh yang menandatanganinya. Supaya akta bawah tangan tidak mudah dibantah maka diperlukan legalisasi oleh Notaris yang berakibat akta bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta otentik2.Perjanjian dalam bentuk Akta Otentik (diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata)Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna yang artinya akta otentik dianggap sah dan benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki keabsahan tanda tangan dari para pihak

Lalu kapan dong berakhirnya perjanjian kredit, nah dalam hal ini maa berkakhirnya perjanjian kredir mengacu pada Pasal 1381 KUHPerdata dan berbagai praktek hukum lainnya yang timbul dalam hal pengakhiran perjanjian kredit. Hal ini dilakukan melalui1.Pembayaran2.Subrograsi (Pasal 1400KUHPerdata); penggantuan hak-hak kreditur oleh pihak ketiga yang membayar utang3.Pembaruan utang/novasi (pasal 1413 KUHPerdata)4.Perjumpaang utang/kompensasi (pasal 1425 KUHPerdata)

Tips Ketika Anda Hendak Ditahan

Tips Ketika Anda Hendak Ditahan
25 09 2007
Saat anda hendak dahan, mka lakukan langkah-langkah berikut
tetaplah tenang, ditahan bukan berarti dunia kiamat dan tidak berarti dengan penahanan anda sudah dinyatakan bersalah
mintalah Surat Perintah Penahanan atau Surat Penetapan Penahanan yang berisi tentang identitas tersangka (nama, umur, pekerjaan, jenis kelamin, dan tempat tinggal), penjelasan alasan penahanan, uraian singkat kejahatan yang disangkakan/didakwakan, menyebutkan tempat penahanan, tembusan tertulis kepada keluarga tersangka sebagai pemberitahuan akan penahanan tersangka
jika tidak ada, anda berhak menolak untuk ditahan dan perintah lisan tidak wajib ditaati
jika petugas tersebut berkeras dan mengancam anda, hindari argumentasi dan kontak fisik yang tidak perlu, beritahukan kepada keluarga terdekat untuk segera menghubungi penasehat hukum anda
jangan melakukan hal-hal yang tidak perlu seperti melakukan suap, karena menyuap petugas atau aparat penegak hukum tidak mempunyai hubungan langsung dengan jadi/tidaknya anda ditangkap
segera hubungi kantor hukum atau organisasi bantuan hukum terdekat untuk sesegera mungkin mendapatkan pelayanan atau bantuan hukum
Batas waktu penahanan adalah
Di tingkat penyidikan maks 20 hari dan dapat diperpanjang maks 40 hari
Di tingkat penuntut umum maks 20 hari dan dapat diperpanjang maks 30 hari
Di tingkat PN maks 30 hari dan dapat diperpanjang maks 60 hari
Di tingkat PT maks 30 hari dan dapat diperpanjang maks 60 hari
Di tingkat MA maks 50 hari dan dapat diperpanjang 60 hari

(Sumber Internet)